ASTALOG.COM – Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sansakerta buddhayah , yaitu bentuk jamak dari budhi nan berarti “budi” atau “akal”.dengan demikian budaya bisa diartikan sebagai hal-hal nan bersangkutan dengan akal (Koentjaraningrat, 1990 : 181). Kata budaya juga dikupas sebagai suatu perkembangan dari mejemuk budi-daya, nan berarti daya dan budi. Karena itu budaya dibedakan dari kebudayaan. Budaya ialah ‘daya dari budi’ nan berupa cipta, rasa dan karsa, sedangkan kebudayaan ialah hasil dari cipta,rasa dan karsa itu
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup, manusia berpikir, merasa mempercayai dan mengusahakan apa nan patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, Norma makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi, politik dan teknologi dan lain-lain semua dilakukan berdasarkan pola-pola budaya.
Unsur dan Tata Nilai Budaya
Ada tujuh unsur kebudayaan nan berlaku universal, yakni:
bahasa;
sistem teknologi;
sistem mata pencaharian;
organisasi sosial;
sistem pengetahuan;
religi; dan
kesenian.
Adapun nilai-nilai budaya dibatasi oleh suku bangsa dan bangsa. Sesuatu nan dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa nan satu belum tentu bisa diterima oleh suku atau bangsa nan lain. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya membatasi dan memberikan ciri kepada suatu masyarakat dan kebudayaan.
Nugroho Notosusanto (1995: 174) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan. Sebagai intinya, ia akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen nan berada pada struktur permukaan dari kehidupan manusia nan meliputi konduite sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material.
Perubahan Kebudayaan
Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan oleh Munandar (1987) dibagi atas: cultural lag, cultural survival, cultural conflict dan cultural shock. Keempat jenis perubahan peristiwa-peristiwa kebudayaan tersebut diuraikan secara singkat sebagi berikut di bawah ini.
1. Cultural Lag
Cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap benda itu.
Juga suatu lag terjadi apabila irama perubahan dari dua unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tak sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh yang lainnya.
2. Cultural Survival
Istilah ini ada sangkut pautnya dengan cultural lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang. Cultural survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian lag dapat diperguanakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:
Suatu jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimannya penemuan tersebut.
adanya perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran modern.
Terjadinya cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru yang berlawanan dengan hukum-hukum serta cara-cara bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural lag.
3. Cultural Conflict
Pertentangan kebudayaan ini muncul sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi akibat konflik langsung antar kebudayaan. Faktor-faktor yang menimbulkan konflik adalah keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas berbudaya. Konflik ini dapat terjadi di antara anggota-anggota kebudayaan yang satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang lain.
4. Cultural Shock
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri, semacam penyakit mental yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat kecemasan karena orang itu kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan lambang pergaulan sosial yang sudah dikenalnya dengan baik.