Lumpur Lapindo Akibat Rekahan Alami

ASTALOG.COM – Lumpur Lapindo, juga dikenal dengan sebutan Banjir lumpur panas Sidoarjo atau Lumpur Sidoarjo (Lusi), adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia, sejak tanggal 29 Mei 2006.

Lapindo Brantas Inc. adalah perusahaan eksplorasi minyak dan gas Indonesia, awalnya didirikan sebagai perusahaan patungan antara PT. Energi Mega Persada Tbk. (50%), PT. Medco Energi Tbk. (32%) dan Santos Australia (18%). Keluarga Bakrie, melalui investasi, memegang saham mayoritas.

 

Dilansir dari Wikipedia, semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

Banjir Lumpur Panas

 

Nah, apa itu banjir lumpur panas? Sebutan banjir lumpur panas atau kubah lumpur digunakan untuk merujuk formasi yang dibuat oleh cairan dan gas di dalam bumi, meskipun terdapat beberapa proses berbeda yang dapat menyebabkan aktivitas ini. Temperaturnya lebih dingin daripada proses pembentukannya. Struktur terbesar memiliki diameter 10 km dan mencapai tinggi 700 meter.

Sekitar 86% gas yang dilepaskan berupa metana, dengan sedikit karbon dioksida dan nitrogen. Bahan yang dikeluarkan sering berupa tanah yang mengendap dalam cairan yang dapat meliputi air (biasanya asam atau asin) dan cairan hidrokarbon.

PELAJARI:  Penyebab Kelaparan di Somalia

Penyebab Lumpur Lapindo

Masih dari Wikipedia, ada yang mengatakan bahwa Lumpur Lapindo meluap karena kegiatan yang dilakukan PT. Lapindo di dekat lokasi tersebut. Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT. Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo.

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inci pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inci pada 1.195 kaki, casing (liner) 16 inci pada 2.385 kaki, dan casing 13 3/8 inci pada 3.580 kaki (Lapindo Press Release ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3.580 kaki sampai ke 9.297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9 5/8 inci yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan formasi Kujung (8.500 kaki).

PELAJARI:  Keluarga Berencana (KB) sebagai Program Pengendalian Jumlah Penduduk

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pengeboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pengeboran mereka di zona Rembang dengan target pengeborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada.

Dalam AAPG 2008 International Conference and Exhibition, kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) yang dilaksanakan di Afrika Selatan dan dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 ahli dari Indonesia mendukung gempa Bantul 2006 sebagai penyebab, 42 suara ahli menyatakan pengeboran sebagai penyebab, 13 suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan Pengeboran sebagai penyebab, dan 16 ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pengeboran.

PELAJARI:  Kapan Hari Guru?

Lumpur Lapindo Akibat Rekahan Alami

Menurut beberapa pendapat ahli, Lumpur Lapindo disebabkan karena adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke Madura seperti Gunung Anyar di Madura, “gunung” lumpur juga ada di Jawa Tengah (Bledug Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu.

Menurut analisis pengamat geologi, struktur tanah di Jawa Timur khususnya di Sidoarjo sendiri, terdapat beberapa lapisan, seperti lapisan atas atau aluvial dan lapisan formasi yang terdiri dari kabuh, pucang lidah dan kujung.

Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar 100.000 meter kubik per hari. Dan jumlah tersebut tidak mungkin keluar dari lubang hasil “pemboran” selebar 30 cm.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) maupun Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan lumpur di Sidoarjo ini berbahaya, sehingga dibuatlah tanggul di atas tanah milik masyarakat, yang karena volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas.