ASTALOG.COM – Komisi Tiga Negara (KTN) merupakan sebuah komite yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB yg menjadi penengah konflik antara Indonesia serta Belanda. Komite ini dikenal sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), Komisi Tiga Negara (KTN), disebut demikian sebab beranggotakan tiga negara, yaitu:
– Australia yang dipilih oleh Indonesia diwakili oleh Richard C. Kirby.
– Belgia yang dipilih oleh Belanda diwakili oleh Paul van Zeeland.
– Amerika Serikat sebagai pihak yang netral menunjuk Dr. Frank Graham.
Tugas KTN
– Menguasai dengan cara langsung penghentian tembak menembak sesuai dengan resolusi PBB.
– Menjadi penengah konflik antara Indonesia serta Belanda.
– Memasang patok-patok wilayah status quo yang dibantu oleh TNI.
– Mempertemukan kembali Indonesia serta Belanda dalam Perundingan Renville. Tetapi, Perundingan Renville ini mengakibatkan wilayah RI makin sempit.
Sejarah Terbentuknya KTN
KTN adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga anggota yaitu Australia (dipilih oleh Indonesia), Belgia (dipilih oleh Belanda) dan Amerika Serikat yang dipilih oleh Australia dan Belgia. Panitia ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan tanggal 25 Agustus 1947 sesudah pada tanggal 21 Juli tahun itu juga Belanda atas anjuran Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, menyerang R.I. Sekalipun oleh Belanda secara resmi dilukiskan sebagai “aksi polisionil yang sangat terbatas”, serangan itu dilancarkan dengan bantuan alat-alat/angkutan yang mekanis, diawasi tank-tank serta perlindungan pesawat-pesawat udara.
Pada saat pertempuran masih terus berlangsung di Jawa dan Sumatera, pada tanggal 30 Juli Pemerintah Australia dan Pemerintah India secara resmi menuntut agar Dewan Keamanan menghentikan pertikaian senjata itu sebagai “suatu pelanggaran perdamaian” berdasarkan pasal 39 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga dengan demikian Australia menjadi pemerintah pertama dalam sejarah yang menggunakan suatu pasal dari Bab VII yang memberi kekuasaan kepada Dewan Keamanan untuk bertindak bila perdamaian terancam atau dilanggar. Berdasarkan rencana resolusi Australia, pada tanggal 1 Agustus Dewan Keamanan menyerukan penghentian permusuhan dengan segera dan penyelesaian pertikaian melalui perantara atau cara-cara damai lainnya.
Gencatan senjata itu diterima kedua belah fihak. Van Mook memerintahkan agar tentara Belanda menghentikan permusuhan pada tengah malam tanggal 4 – 5 Agustus, dan Yogyakarta mengeluarkan perintah yang sama. Pemerintah kedua belah fihak melaporkan kepada Dewan Keamanan apa-apa yang telah mereka lakukan. Sekalipun demikian pertikaian berlangsung terus, terutama sebagai akibat “operasi-operasi pembersihan” Belanda. Dengan mengingat bahwa operasi-operasi militer masih berlangsung dalam wilayah R.I., pada tanggal 26 Agustus Dewan Keamanan mengingatkan kedua pemerintah pada seruannya agar diadakan gencatan senjata dan penyelesaian perselisihan mereka secara damai dan menyerukan pula agar mereka mematuhi anjuran itu.
Tetapi pada tanggal 29 Agustus Van Mook membuat garis batas daerah yang termasuk tanggungjawab Belanda. Tuntutan itu melampaui daerah yang diduduki Belanda saat itu dan jauh melampaui daerah yang mereka duduki tanggal 4 Agustus. “Garis Van Mook” ini sama sekali tidak dijadikan batas kegiatan antara Belanda dalam bulan-bulan berikutnya. Saya mendengar bahwa Van Mook dengan sokongan Letjen. Spoor, Panglima tentara Belanda di Indonesia, menganjurkan agar Belanda maju terus sampai Yogyakarta. Untung pemerintah Belanda mendapat saran yang sebaliknya dari dua orang diplomat senior dan menolak anjuran tersebut. Kemudian dalam tahun itu juga Perdana Menteri Mr. Sjarifuddin mengklaim bahwa tentara Belanda telah maju lebih dari 100 km di Jawa Barat, 80 km di Jawa Tengah dan 50 km di Jawa Timur.
Pada tanggal 1 Nopember, Dewan Keamanan karena perintah-perintahnya tidak dilaksanakan dengan baik, meminta KTN membantu kedua belah fihak agar bisa mencapai kesepakatan dan menyarankan agar resolusinya harus diinterpretasikan sebagai mengandung arti : “Penggunaan tentara oleh kedua belah pihak dengan maksud meluaskan kekuasaannya ke daerah yang tidak dikuasainya pada tanggal 4 Agustus 1947 adalah tidak sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan tanggal 1 Agustus”.
Komisi Tiga Negara merasa bahwa ia berhak mengambil inisiatif. Tanpa menunggu tibanya kapal perang Amerika “Renville” dimana akan dilangsungkan perundingan, KTN mulai berusaha agar gencatan senjata terlaksana. Pada tanggal 14 Nopember KTN bertemu dengan Panitia-panitia Khusus dari fihak Indonesia dan fihak Belanda. Dr. Leimena memimpin Panitia Indonesia, dan Jhr. Van Vredenburg memimpin Panitia Belanda.