ASTALOG.COM – Menurut Wikipedia, El Nino adalah gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan Samudera Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya. Penggunaan nama El Nino diambil dari Bahasa Spanyol yang berarti “Anak Laki-laki‘. Penggunaan namanya pun merujuk pada bayi Yesus Kristus karena fenomena ini biasanya muncul di bulan Desember selama musim Natal.
El Nino terjadi karena dipicu dengan adanya pemanasan di ekuator Samudera Pasifik serta pemanasan global. Pada mulanya arus laut hangat akan mengalir dari Utara ke Selatan antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di wilayah Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap 3 hingga 7 tahun serta dapat mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari 1 tahun.
EL NINO DI INDONESIA
Dalam kondisi iklim normal, suhu permukaan laut di sekitar Indonesia atau wilayah pasifik ekuator bagian barat, umumnya hangat. Oleh karena itu, proses penguapan mudah terjadi dan awan-awan hujan mudah terbentuk. Namun ketika fenomena El Nino terjadi, dimana suhu permukaan laut di pasifik ekuator bagian tengah dan timur menghangat, justru perairan sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan suhu. Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia.
Fenomena El Nino mudah diamati dengan menganalisis data-data atmosfer dan kelautan yang terekam melalui ‘Weather Buoy‘ suatu alat perekam data atmosfer dan lautan yang bekerja otomatis dan ditempatkan di samudera. Di samudera Pasifik sendiri, ada sekitar 50 buah Buoy yang dipasang oleh lembaga penelitian atmosfer dan kelautan Amerika sejak tahun 1980-an. Dengan alat-alat ini, BMKG selaku lembaga yang berkompeten di Indonesia dalam hal cuaca, mendapatkan data suhu permukaan laut sehingga bisa melakukan pemantauan terhadap kemunculan fenomena El Nino.
Fenomena El Nino bukanlah kejadian yang terjadi secara tiba-tiba. Proses perubahan suhu permukaan laut yang biasanya dingin kemudian menghangat bisa memakan waktu dalam hitungan minggu hingga bulan. Karena itu, pengamatan suhu permukaan laut juga bisa bermanfaat dalam pembuatan prediksi atau prakiraan akan terjadinya El Nino, sehingga suhu permukaan laut bisa dianalisis dari waktu ke waktu. Selain itu, pemantauan terhadap fenomena El Nino juga dilakukan dengan memanfaatkan data dari alat Buoy. Pemantauan ini dilakukan dengan membuat peta perkembangan suhu lautan baik sebaran spasial (lintang-bujur) maupun irisan vertikal, yaitu peta suhu laut untuk beberapa tingkat kedalaman.
DAMPAK EL NINO
Berdasarkan catatan, sejak tahun 1950 telah terjadi setidaknya 22 kali fenomena El Nino, dimana 6 kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat, yaitu di tahun 1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983, 1987/1988 dan 1997/1998. Intensitas El Nino secara numerik ditentukan berdasarkan besarnya penyimpangan suhu permukaan laut di ekuator Samudera Pasifik bagian tengah. Jika menghangat lebih dari 1.5 oC, maka El Nino dikategorikan kuat.
Pada umumnya El Nino mulai berlangsung pada akhir musim hujan atau awal hingga pertengahan musim kemarau, yaitu di bulan Mei, Juni, dan Juli. El Nino tahun 1982/1983 serta 1997/1998 adalah 2 kejadian El Nino terhebat yang pernah terjadi di era modern dengan dampak yang dirasakan secara global karena pengaruhnya melanda banyak kawasan di dunia. Misalnya di Amerika dan Eropa yang mengalami peningkatan curah hujan. Sementara itu di Indonesia, India, Australia, dan Afrika mengalami pengurangan curah hujan yang menyebabkan kemarau panjang.
Selain itu, dampak El Nino terhadap iklim di Indonesia akan terasa semakin kuat jika terjadi bersamaan dengan musim kemarau, dan akan berkurang atau bahkan tidak terasa jika terjadi bersamaan dengan musim penghujan. Dampak El Nino juga ternyata berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain, bergantung pada karakteristik iklim lokal. Oleh karena itu, akan sangat baik jika para analis memperhatikan sebaran dampak El Nino dari bulan ke bulan (khususnya di musim kemarau) dan dari satu lokasi ke lokasi lain, berdasarkan catatan kejadian El Nino di masa lalu. Analisis ini bisa dijadikan acuan dalam menyusun kebijakan terkait dampak El Nino, misalnya saja dalam kebijakan tentang ketahanan pangan.