ASTALOG.COM – Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut provinsi Jawa Timur. Jembatan Nasional Suramadu merupakan pintu masuk utama menuju Madura, selain itu untuk menuju pulau ini bisa dilalui dari jalur laut ataupun melalui jalur udara. Untuk jalur laut, bisa dilalui dari Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya menuju Pelabuhan Kamal di bangkalan, Selain itu juga bisa dilalui dari Pelabuhan Jangkar Situbondo menuju Pelabuhan Kalianget di Sumenep, ujung timur Madura.
Madura didiami oleh suku Madura yang merupakan salah satu etnis suku dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura banyak tinggal di bagian timur Jawa Timur yang biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara, serta sebagian Malang.
Contoh Upacara Adat di Madura
Madura memiliki salah satu upacara adat yang hingga sekarang masih rutin dilakukan oleh masyarakatnya. Salah satu contoh upacara adat di Madura adalah Nyadar yang merupakan suatu kekayaan tradisi masyarakat petani garam Desa Pinggir Papas. Nyadar dilakukan di sekitar kompleks makam leluhur, yang disebut juga Asta, yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Bujuk Gubang.
Dalam setahun, upacara ini bisa dilakukan selama 3 kali berturut-turut dengan rentang waktu satu bulan berselang, yaitu:
- Nyadar pertama dan kedua dilakukan di sekitar Asta Syeh Anggasuto, Syeh Kabasa, Syeh Dukun, dan Syeh Bangsa yang ada di Desa Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi.
- Pada Nyadar ketiga biasanya disebut dengan Nyadar Bengko. Lokasi upacara adat tersebut berada di Dusun Kolla, Desa Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi. Konon hal ini juga berangkat dari Nyadar Syeh Dukun, yang juga ingin melakukan syukuran tetapi hanya di lingkungan rumahnya (dalam Bahasa Madura disebut Bengko) atau di antara keluarganya sendiri. Namun ada yang khas dari pelaksanaan Nyadar ketiga ini.
Dari kota Sumenep sendiri untuk menuju lokasi masih harus menempuh jarak sekitar 13 kilometer lagi ke arah Selatan.
Waktu Pelaksanaan
Penentuan waktu pelaksanaan Nyadar biasanya berdasarkan musyawarah para pemuka adat, yang masih merupakan keturunan dari leluhur Anggasuta. Ada beberapa syarat sehubungan dengan pelaksanaan Nyadar. Syarat tersebut terdapat kaitan dengan peringatan Maulid Nabi, yaitu:
- Pelaksanaan upacara tidak diperkenankan diadakan sebelum tanggal 12 Maulid.
- Selamatan yang tidak boleh melebihi besarnya selamatan yang diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
- Para peserta upacara Nyadar terlebih dahulu diwajibkan untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dari syarat tersebut, selain mengindikasikan bahwa Nyadar tumbuh dan berkembang setelah Islam masuk, juga mengimplikasikan bahwa penghormatan terhadap leluhur mereka tidak boleh melebihi penghormatan terhadap Rasulullah SAW.
Sejarah Upacara Adat Nyadar
Pangeran Anggasuto adalah salah satu tokoh masyarakat yang menyelamatkan orang-orang Bali yang terdesak ketika kalah perang melawan Pasukan Karaton Sumenep. Dikisahkan, pada suatu malam melakukan Istigharah. Memohon kepada Tuhan yang maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah tersebut. Apa yang bisa dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Sebab di daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai. Yang bisa dibayangkan bagaimana kondisinya.
Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Pangeran Anggasuto semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Pada suatu waktu, Pangeran Anggasuto berjalan ke arah pantai. Karena tanah di pantai itu begitu lembek, hingga membentuk tapak kakinya. Selang waktu berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut. Beberapa hari kemudian, Anggasuto kembali berjalan ke arah pantai. Dia memperhatikan sesuatu di bekas tapak kakinya itu. Dijumpainya bekas tapak kaki itu dipenuhi oleh benda yang berwarna putih.
Akhir kata, benda itu kemudian disebut dengan Buja, yang merupakan istilah bahasa Madura untuk garam. Maka, hingga sekarang benda itu dikenal dengan nama buja atau garam. Kabarnya kisah itu sudah tersiar ke segala penjuru daerah. Seiring perputaran zaman, temuannya itu ternyata memberi manfaat bagi seluruh manusia di penjuru Nusantara. Dimana pola mata pencaharian sebagai petani garam kemudian juga dilakukan oleh beberapa masyarakat di daerah lain seperti di Bali dan Sumatera. Dan waktu terus berjalan, orang-orang di daerah Pinggirpapas masa itu, dengan bimbingan Anggasuto terus mempelajari bagaimana memetak tanah untuk ladang garam. Selain itu juga cara memindah-mindah air laut.