ASTALOG.COM – Teori lempeng tektonik merupakan teori yang menegaskan bahwa lapisan terluar bumi terbuat dari suatu lempengan tipis dan keras yang masing-masing saling bergerak relatif terhadap yang lain. Gerakan ini terjadi secara terus-menerus sejak bumi ini tercipta hingga sekarang. Teori lempeng tektonik muncul sejak tahun 1960-an, dan hingga kini teori ini telah berhasil menjelaskan berbagai peristiwa geologis, seperti gempa bumi, tsunami, dan meletusnya gunung berapi, juga tentang bagaimana terbentuknya gunung, benua, dan samudera.
Bagian terluar dari interior bumi terbentuk dari 2 lapisan, yaitu:
- Di bagian atas terdapat litosfer yang terdiri atas kerak dan bagian teratas mantel bumi yang kaku dan padat.
- Di bawah lapisan litosfer terdapat astenosfer yang berbentuk padat tetapi bisa mengalir seperti cairan dengan sangat lambat dan dalam skala waktu geologis yang sangat lama karena viskositas dan kekuatan geser yang rendah.
Lebih dalam lagi, bagian mantel di bawah astenosfer sifatnya menjadi lebih kaku lagi. Penyebabnya bukanlah suhu yang lebih dingin, melainkan tekanan yang tinggi. Suatu bagian mantel bisa saja menjadi bagian dari litosfer atau astenosfer pada waktu yang berbeda, tergantung dari suhu, tekanan, dan kekuatan gesernya.
Prinsip kunci lempeng tektonik adalah bahwa litosfer terpisah menjadi lempengan-lempengan tektonik yang berbeda-beda. Lempengan ini bergerak menumpang di atas astenosfer yang mempunyai viskoelastisitas sehingga bersifat seperti fluida.
Kerak Samudera dan Kerak Benua pada Lempeng Tektonik
Lempeng-lempeng tektonik memiliki ketebalan sekitar 100 km dan terdiri atas mantel litosferik yang di atasnya dilapisi dengan hamparan salah satu dari 2 jenis material kerak, yaitu:
- Kerak samudera (sima) merupakan gabungan dari silikon dan magnesium.
- Kerak benua (sial) merupakan gabungan dari silikon dan aluminium.
Kedua jenis kerak ini berbeda dari segi ketebalan di mana kerak benua memiliki ketebalan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kerak samudera. Ketebalan kerak benua mencapai 30–50 km sedangkan kerak samudera hanya 5–10 km. Selanjutnya, kedua lempeng akan bertemu di sepanjang batas lempeng, yaitu daerah di mana aktivitas geologis umumnya terjadi seperti gempa bumi dan pembentukan kenampakan topografis seperti gunung, gunung berapi, dan palung samudera. Kebanyakan gunung berapi yang aktif di dunia berada di atas batas lempeng, seperti Cincin Api Pasifik di Lempeng Pasifik yang paling aktif dan dikenal luas.
Perbedaan antara kerak benua dengan kerak samudera adalah berdasarkan pada kepadatan material pembentuknya.
- Kerak samudera lebih padat daripada kerak benua dikarenakan perbedaan perbandingan jumlah berbagai elemen, khususnya silikon.
- Kerak benua lebih padat karena komposisinya yang mengandung lebih sedikit silikon dan lebih banyak materi yang berat. Dalam hal ini, kerak samudera dikatakan lebih bersifat mafik ketimbang felsik.
- Kerak samudera umumnya berada di bawah permukaan laut seperti sebagian besar Lempeng Pasifik, sedangkan kerak benua timbul ke atas permukaan laut, mengikuti sebuah prinsip yang dikenal dengan isostasi.
Jenis-jenis Batas Lempeng Tektonik
Ada 3 jenis batas lempeng yang berbeda dari cara lempengan tersebut bergerak relatif terhadap satu sama lain, dimana masing-masing berhubungan dengan fenomena yang berbeda di permukaan. Ketiga jenis batas lempeng tersebut, yaitu:
- Batas transform terjadi jika lempeng bergerak dan mengalami gesekan satu sama lain secara menyamping di sepanjang sesar transform. Gerakan relatif kedua lempeng bisa sinistral (ke kiri di sisi yang berlawanan dengan pengamat) ataupun dekstral (ke kanan di sisi yang berlawanan dengan pengamat). Contoh: Sesar San Andreas di California, Amerika Serikat.
- Batas divergen terjadi ketika 2 lempeng bergerak menjauh satu sama lain.
- Batas konvergen terjadi jika 2 lempeng bergesekan mendekati satu sama lain sehingga membentuk zona subduksi jika salah satu lempeng bergerak di bawah yang lain, atau tabrakan benua jika kedua lempeng mengandung kerak benua. Palung laut yang dalam biasanya berada di zona subduksi, di mana potongan lempeng yang terhunjam mengandung banyak bersifat hidrat (mengandung air), sehingga kandungan air ini dilepaskan saat pemanasan terjadi bercampur dengan mantel dan menyebabkan pencairan sehingga menyebabkan aktivitas vulkanik. Contoh kasus ini dapat dilihat di Pegunungan Andes di Amerika Selatan dan busur pulau Jepang.