ASTALOG.COM – Lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan oleh komponis W. R. Supratman untuk pertama kalinya diperdengarkan pada Kongres Pemuda II yang berlangsung pada tanggal 28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Momen Kongres Pemuda II ini juga sekaligus ditandai sebagai hari Sumpah Pemuda. Adapun lagu kebangsaan ini merupakan lagu yang menandakan kelahiran pergerakan nasionalisme seluruh nusantara di Indonesia yang mendukung ide satu “Indonesia” sebagai penerus Hindia Belanda, daripada dipecah menjadi beberapa koloni.
Kemudian pada saat proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, lagu Indonesia Raya akhirnya ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Sejak itu, lagu Indonesia Raya selalu dimainkan pada saat pelaksanaan upacara bendera, dimana bendera Indonesia akan dinaikkan dengan khidmat, dengan gerakan yang diatur sedemikian supaya bendera dapat mencapai puncak tiang bendera bersamaan dengan saat lagu berakhir.
Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Ketika W. R. Supratman mempublikasikan lagu Indonesia Raya, ia dengan jelas menuliskan “lagu kebangsaan” di bawah judul Indonesia Raya. Pada saat itu, surat kabar Sin Po edisi Nvember 1928 menjadi media publikasi yang pertama kali dimana dalam surat kabar tersebut dimuat teks lagu Indonesia Raya. Selanjutnya rekaman lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya dimiliki oleh seorang pengusaha berdarah Tionghoa bernama Yo Kim Tian.
Perlu diketahui bahwa Lagu Indonesia Raya yang dipublikasikan di surat kabar Sin Po, ditulis oleh W. R Supratman dengan tangga nada C (natural) dan dengan catatan “Djangan Terlaloe Tjepat.” Sementara itu pada sumber lainnya, W. R Supratman menuliskannya dengan tangga nada G (sesuai kemampuan umum orang menyanyi pada rentang a – e) dan dengan irama Marcia.
Kemudian pada tahun 1950, seorang musisi Belanda bernama Jos Cleber mengaransemen lagu Indonesia Raya dan menuliskannya dengan irama Maestoso con bravura (kecepatan metronome 104). Ia melakukannya setelah menerima permintaan dari Kepala Studio RRI Jakarta saat itu, yaitu Jusuf Ronodipuro. Selanjutnya Cleber pun menyempurnakan aransemennya setelah ia menerima masukan dari Presiden Soekarno saat itu.
Setelah lagu Indonesia Raya dikumandangkan pada tahun 1928 dihadapan para peserta Kongres Pemuda II dengan biola, pemerintah kolonial Hindia Belanda segera melarang penyebutan lagu kebangsaan untuk Indonesia Raya. Namun hal itu ternyata tidak menggentarkan semangat para pemuda. Mereka tetap menyanyikan lagu itu dengan semangat dan mengucapkan kata “mulia, mulia!” untuk menggantikan kata “merdeka, merdeka!” yang terdapat pada bagian refrain lagu.
Para pemuda juga tetap menganggap bahwa lagu Indonesia Raya sebagai sebuah lagu kebangsaan. Selanjutnya, lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan pada setiap rapat partai-partai politik. Setelah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya ditetapkan sebagai lagu kebangsaan perlambang persatuan bangsa Indonesia.
W. R. Supratman Sang Pencipta Lagu Indonesia Raya
W. R. Supratman lahir di Surabaya pada tanggal 9 Maret 1903 dan meninggal dunia 10 tahun setelah ia menciptakan lagu Indonesia Raya, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1938. Jadi Supratman bahkan tidak sempat mendengarkan lagunya dikumandangkan pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
W. R. Supratman adalah anak ke-7 dari 9 bersaudara. Pada tahun 1914, Supratman mengikuti kakak tertuanya, Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem, seorang Belanda yang bernama Willem van Eldik. Berkat kakak iparnya jugalah, Supratman belajar musik sehingga ia pandai bermain biola dan kemudian bisa mengubah lagu. Akhirnya pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.
Di Makassar sendiri Supratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama 3 tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaal School di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, ia menjadi guru di Sekolah Angka 2. 2 tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta.
Pada saat itu ia juga mulai tertarik pada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa yang akhirnya disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.