ASTALOG.COM – Indonesia dijajah oleh Jepang dari tahun 1942 – 1945. Pada masa penjajahannya, Jepang membuat beberapa organisasi, yang dimaksud untuk membantu Jepang dalam menghadapi perang. Salah satunya adalah PETA.
Sejarah Pembentukan PETA.
Dikutip dari Wikipedia, Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA ( kyōdo bōei giyūgun) adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela. Pelatihan pasukan Peta dipusatkan di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.
Tentara PETA telah berperan besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Veteran-veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, antara lain setelah menjadi bagian penting dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya TNI. Karena hal ini, PETA banyak dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia.
Tanggal 7 September 1943, Gatot Mangunpraja ,mengajukan permohonan kepada Gunseikan yang menurut sumber tertentu ditanda-tangani dengan darahnya sendiri. Gatot memohon agar dibentuk kesatuan bersenjata di kalangan penduduk sendiri. Beberapa hari kemudian sejumlah alim ulama juga mengajukan permohonan yang sama mereka diantaranya K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Moh. Sadri yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa. Dengan alasan itu, kemudian Saiko Syikikan dan Gunseikan menyetujui pendirian PETA.
Pendirian PETA didasarkan pada maklumat Osamu Seirei Nomor 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada.
Osamu Seirei No 44, 3 Oktober 1943 berisikan mengenai Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela Pulau Jawa dengan status :
1. Kesatu, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli.
2. Kedua, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang.
3. Ketiga, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun, langsung dibawah Panglima Tentara Jepang.
4. Keempat, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang berkewajiban mempertahankan wilayahnya (syuu).
5. Kelima, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu.
Pengumuman mengenai pembentukan PETA itu dinyatakan bahwa seluruh anggotanya, baik prajurit maupun perwira terdiri dari bangsa Indonesia sendiri. Pasukan PETA akan dibentuk pada setiap Syu (Keresidenan) untuk membela daerah tersebut.
Penyebarluasan berita pembentukan PETA dan syarat-syarat menjadi anggota PETA ternyata mendapat perhatian besar dari masyarakat, khususnya di Jawa. Penyebabnya karena PETA tidak terlalu mementingkan tingkat pendidikan seperti yang di haruskan Heiho, tetapi lebih mengutamakan kecakapan memimpin dan mengatur rombongan.
Namun, mereka yang diterima menjadi Komandan Batalyon adalah tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh kuat pada suatu daerah tertentu seperti tokoh-tokoh agama, guru dan sebagainya.
Tujuan Pembentukan PETA.
Sebenarnya untuk apa Jepang menyetujui pembentukan PETA? Dari sudut pandang Jepang, PETA dimaksudkan sebagai alat untuk mempertahankan Indonesia terhadap kemungkinan pendaratan Sekutu.
Komando Tinggi Jepang menyetujui pembentukan PETA, agar mempersiapkan penduduk asli untuk melawan Sekutu seandainya invasi mereka berlangsung. Jauh lebih baik, demikian pikir para Jenderal Jepang itu, darang bangsa Indonesia yang tertumpah daripada darah bangsa Jepang.
Sementara bagi Soekarno, PETA merupakan kesempatan bagi rakyat yang tidak terlatih menjadi tentara yang andal. Untuk pertama kali bangsa Indonesia belajar menggunakan senapan, untuk mempertahankan dirinya sendiri. Mereka akan diajari disiplin militer, dilatih perang gerilya, bagaimana menghadang musuh, bagaimana menembakan senapan dalam posisi merangkak, bagaimana merakit granat buatan sendiri dengan menggunakan tempurung yang diisi bensin. Mereka berlatih bagaimana berperang melawan musuh- siapapun musuh yang mereka hadapi.
Pembubaran PETA.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. [2][3][4]. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus 1945, panglima terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.