ASTALOG.COM – Agresi militer Belanda di Indonesia terjadi setelah Kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini terjadi dua kali dalam kurun waktu kurang dari lima tahun yaitu pada tanggal 21 Juni 1947 dan 19 Desember 1948.
Belanda melakukan agresi militer dengan alasan aksi polisionil yaitu menangkap,memberantas terosis atau penjahat yang menganggu ketentraman negara. Penyebab utama agresi militer Belanda sebenarnya berawal dari keinginan Belanda berkuasa kembali di Indonesia.
Agresi Militer I
Kemudian terjadi perselisihan pendapat akibat perbedaan penafsiran dalam melaksanakan Perjanjian Linggarjati yang akhirnya menimbulkan konflik antara Indonesia dan Belanda. Akhirnya pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengeluarkan nota berupa ultimatum yang harus dijawab pemerintah Indonesia dalam waktu 14 hari, namun sayangnya tidak tercapai kesepakatan terhadap nota tersebut maka pada tanggal 21 Juli 1947, tengah Malam Belanda melancarkan serangan keseluruh daerah republik Indonesia. Operasi yang di beri label “aksi polisional” ini merupakan agresi yang dikenal dengan Agresi Militer I.
Pasukan-pasukan belanda bergerak ke Jakarta dan Bandung untuk menguasai Jawa Barat. Dari Surabaya menguasai Madura dan wilayah Jawa Timur, serta satu pasuka nlagi untuk menduduki Semarang.
Akhirnya pasukan TNI memutuskan mundur ke pedalaman sambil menjalankan taktik bumi hangus dan taktik gerilia. Sistem wehrkreise diterapkan dengan menggantikan sistem pertahanan liner. Dengan taktik itu, Belanda hanya mampu bergerak di kota-kota dan jalan raya dan berakhir dengan kemenangan TNI.
Agresi Militer II
Karena serangan Agresi Militer I tidak berjalan sempurna, akhirnya Belanda melanjutkan Agresi Militer II. Agresi Militer Belanda II dimulai ketika pihak Belanda yang tetap bersikukuh menguasai Indonesia mencari dalih untuk dapat melanggar perjanjian yang telah disepakati. Bahkan pihak Belanda menuduh jika pihak Indonesia tidak menjalankan isi perundingan Renville. Oleh karena itu pihak TNI dan pemerintah Indonesia sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan melakukan aksi militernva untuk menghancurkan republik dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi kekuatan Belanda itu, didirikan Markas Besar Komando Djawa (NIBKD) vang dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution dan Markas Resar Ko.mando Sumatra (MBKS) yang dipimpin oleh Kolonel Hidayat.
Pihak bangsa Indonesia maupun pihak Belanda sama-sama mengirimkan surat kepada pihak KTN ( komisi tiga negara ). Surat tersebut sama-sama berisi dugaan terhadap pihak indonesia maupun pihak belanda yang dianggap tidak menghormati hasil perjanjian Renville. Akibatnya, sebelum tengah malam tepat pada tanggal 18 Desember 1948, pihak belanda mengumumkan,bahwa Belanda tidak terikat lagi terhadap perjanjian Renville. Dan pada hari tepat pada tanggal 19 Desember 1948, pesawat tempur Belanda menyerang Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa tersebut merupakan awal dari Agresi Militer Belanda II.
Latar Belakang Terjadinya Agresi Militer II
Latar belakang terjadinya Agresi Militer II yaitu saat pihak bangsa Indonesia maupun pihak Belanda sama-sama mengirimkan surat kepada pihak KTN ( komisi tiga negara ). Surat tersebut sama-sama berisi dugaan terhadap pihak indonesia maupun pihak belanda yang dianggap tidak menghormati hasil perjanjian Renville. Akibatnya, sebelum tengah malam tepat pada tanggal 18 Desember 1948, pihak belanda mengumumkan,bahwa Belanda tidak terikat lagi terhadap perjanjian Renville. Dan pada hari tepat pada tanggal 19 Desember 1948, pesawat tempur Belanda menyerang Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa tersebut merupakan awal dari agresi militer Belanda II.
Agresi Militer II ternyata menarik perhatian PBB, karena Belanda secara terang-terangan tidak mengakui lagi Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan oleh PBB. Pada tanggal 24 Januari 1949 Dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar Republik Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan. Kegagalan Belanda di medan tempur dan tekanan Amerika Serikat yang mengancam akan memutuskan bantuan ekonomi dan keuangan memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan