ASTALOG.COM – 4 tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, tepatnya pada 7 Agustus 1949, terbentuklah suatu gerakan kebangsaan beraliran Islam yang bernama Darul Islam (DI) dengan tentaranya yang diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan ini bertujuan untuk membentuk Negara Islam di Indonesia yang dikoordinasi oleh seorang politisi Muslim radikal, Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Kelompok ini mengakui syariat islam sebagai sumber hukum yang valid. Gerakan ini telah menghasilkan pecahan maupun cabang yang terbentang dari jamaah Islamiyah hingga kelompok agama Islam yang non kekerasan.
Sebenarnya pada saat Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya di tahun 1945, gerakan ini semakin kuat untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasi versi DI, dinyatakan bahwa “Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam“, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan pula bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Sunnah“. Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur’an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan “hukum kafir” sesuai dalam Al Qur’an Surah Al-Maidah ayat 50.
SEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA DI/TII
Pada tanggal 7 Agustus 1949 di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Gerakannya dinamakan Darul Islam (DI) sedang tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan ini dibentuk pada saat Jawa Barat ditinggal oleh Pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam Rangka melaksanakan ketentuan dalam Perjanjian Renville.
Dalam perkembangannya, DI/TII menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan. Ketika pasukan Siliwangi berhijrah, gerombolan DI/TII ini dapat leluasa melakukan gerakannya dengan membakar rumah – rumah rakyat, membongkar rel kereta api, serta menyiksa dan merampok harta benda penduduk. Akan tetapi setelah pasukan Siliwangi mengadakan Long March kembali ke Jawa Barat, gerombolan DI/TII ini harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.
Untuk melindungi kereta api, Kavaleri Kodam VI Siliwangi (sekarang Kodam III) mengawal kereta api dengan panzer tak bermesin yang didorong oleh lokomotif uap D-52 buatan Krupp Jerman Barat. Panzer tersebut berisi anggota TNI yang siap dengan senjata mereka. Bila ada pertempuran antara TNI dan DI/TII di depan, maka kereta api harus berhenti di halte terdekat. Pemberontakan bersenjata yang berlangsung selama 13 tahun itu telah menghalangi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Ribuan ibu-ibu menjadi janda dan ribuan anak-anak menjadi yatim piatu.
Diperkirakan ada sekitar 13.000 rakyat Sunda, anggota organisasi keamanan desa (OKD) serta tentara gugur. Sementara itu, anggota DI/TII yang tewas tak diketahui dengan pasti. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dinyatakan sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.