Legenda Adalah?

ASTALOG.COM – Dilansir dari wikipedia, Legenda (bahasa Latin: legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda sering kali dianggap sebagai “sejarah” kolektif (folk history).

Walaupun demikian, karena tidak tertulis, maka kisah tersebut telah mengalami distorsi sehingga sering kali jauh berbeda dengan kisah aslinya. Oleh karena itu, jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, maka legenda harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari yang mengandung sifat-sifat folklor.

 

Jenis-jenis Golongan
Menurut Jan Halord Brunvard, legenda dapat digolongkan menjadi 4 macam yaitu

1. Legenda keagamaan (religious legend) adalah legenda yang memuat kisah keagamaan.

 

2. Legenda alam gaib adalah legenda yang memuat kisah yang seolah pernah terjadi pada seseorang.

3. Legenda daerah setempat, adalh legenda yang berhubungan dengan cerita suatu tempat (daerah)

4. Legenda Perseorangan, adalah legenda mengenai tokoh tokoh tertentu yang dianggap ceritanya benar

Unsur-unsur dalam Legenda
Unsur –unsur intrinsik dan ekstrinsik dari legenda Danau Toba:
1. Tema
2. Tokoh
3. Penokohan
4. Latar(tempat,waktu,suasana cerita)
5. Sudut pandang
6. Amanat
7. Gaya bahasa
8. Alur
9. Adakah unsur agama.moral maupun sosial.

Contoh Legenda

Batu Menangis
Legenda Rakyat Kalimantan Barat

Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.

PELAJARI:  Elektrolit Kuat Adalah

Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu.

Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.

PELAJARI:  Manfaat Kegiatan Ekspor dan Impor

Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.

Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang sudah bungkuk memakai baju lusuh yang penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.

Kejadian itu berulang terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air mata dia menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.

PELAJARI:  Mengapa Bali Disebut Pulau Dewata?

Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku! Hamba tidak sanggup lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman yang setimpal!”

Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.

“Ibu, tolong Darmi bu! Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu. Maafkan aku bu! Tolong aku…” teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.