ASTALOG.COM -Cendana adalah istilah dari bahasa sansekerta. Berbagai masyarakat di Nusa Tenggara Timur mengenal cendana dengan berbagai istilah antara lain : kai salun (Helong), hau meni (Atoni meto), ai kamenil (Tetun), Hadana, ai nitu atau Wasu dana (Sumba), ai nitu (Rote), haju mangi (Sabu), bong mouni (Alor).
Cendana yang berasal dari istilah bahasa sansekerta yang dalam bahasa latin disebut Santalum album L. termasuk famili Santalaceae. Sebenarnya ada dua jenis cendana yakni cendana merah atau Pterocarpus santalinus dan cendana putih atau Santalum album L. Cendana merah, kurang harum dan tidak baik mutunya oleh karena itu kurang penting bagi perdagangan. Cendana jenis ini hidup di Funan dan India. Sementara cendana putih mempunyai kualitas yang tinggi karena aromanya yang harum dan mengandung minyak. Cendana putih tumbuh di wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur yakni pulau Flores, Sumba, Solor, Adonara, Lomblen, Pantar, Alor, Timor, Rote dan Sabu.
Dulu, ada dua pulau penghasil cendana adalah pulau Sumba dan pulau Timor. Karena sebagai penghasil utama cendana di masa lalu, pulau Sumba dijuluki Sandelwood Island atau pulau cendana. Namun sayang cendana tersebut semakin langka karena ulah manusia antara lain karena pencurian dan peraturan pengelolaan cendana yang kurang memihak rakyat. Cendana yang tumbuh dimana pun baik yang tumbuh di tanah negara maupun di tanah milik masyarakat wajib dipelihara oleh masyarakat. Kalau pohon cendana mati akan didenda. Namun hasil kayu cendana sebagian besar masuk ke kas pemerintah.
Ciri-ciri Cendana
Kondisi ideal untuk tumbuhnya cendana adalah pada ketinggian 50 – 1200 m dpl, curah hujan 625 -1625 mm/tahun dengan bulan kering antara 9 – 10 bulan. Saat ini, keberadaan populasi cendana di Indonesia, dikhawatirkan mengalami kepunahan. Dalam kurun waktu 10 tahun, dari tahun 1987-1997, jumlah pohon cendana di propinsi NTT turun drastis hingga 53,96%.
Lokasi Penyebaran Cendana
Cendana merupakan tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) . Penyebarannya yaitu di Pulau Timor, Sumba, Alor, Solor, Pantar, Flores, Roti, dan pulau-pulau lainnya. Selain di NTT, cendana juga bisa ditemui di daerah Gunung Kidul, Imogiri, Kulon Progo (DIY), Bondowoso (Jawa Timur), dan Sulawesi.
Penyebab Kepunahan Cendana
Terungkap bahwa penyebab penurunan populasi cendana di dua area itu karena beberapa faktor antara lain:
1. Pembakaran Hutan
Pembakaran hutan terjadi setiap tahun. Hal ini terjadi sebagai akibat dari sistem pertanian tradisional tebas-bakar yang masih dipegang teguh measyarakat setempat saat membuka ladang. Sistem bakar ikut memusnahkan tanaman cendana.
2. Rendahnya Harga Cendana.
Rendahnya harga cendana sesuai penetapan pemerintah. Hal ini ikut mendorong penebangan liar, perdagangan liar, penyelundupan dan pencurian. Dalam banyak praktek, harga cendana yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 7.000,00/kg. Sedangkan pengusaha menawarkan harga Rp 15.000-25.000,00/kg. Di sini terlihat, betapa rendahnya harga cendana yang ditetap pemerintah dibanding harga yang ditawarkan pengusaha. Secara tidak langsung, cendana tidak mempunyai manfaat ekonomis apa pun bagi petani.
3. Penggalian Akar Cendana
Penggalian akar cendana banyak dilakukan masyarakat karena bagian akar mempunyai kandungan minyak cendana yang paling tinggi sehingga harganya termahal. Akibat pengambilan akar tersebut, banyak tegakan cendana yang roboh dan regenerasi vegetatif secara alami dengan tunas akar menjadi terganggu.
4. Eksploitasi Berlebihan
Kegiatan eksploitasi yang dilakukan selama ini sangat berlebihan. Hal itu diperparah dengan upaya pembiaran atau tidak ada upaya penanaman kembali.
5. Kebijakan yang Merugikan
Dalam kenyataan, kebijakan-kebijakan pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) bukannya menguntungkan petani atau masyarakat tetapi banyak merugikan. Karena kebijakan yang ada dirasa tidak menguntungkan, masyarakat kemudian memusnahkan semai cendana di lahan miliknya baik di pekarangan, kebun maupun pada sistem ladang berpindah.
6. Pertumbuhan Lambat
Masa tunggu panen cendana ternyata cukup lama, yakni berkisar antara 30-35 tahun. Hal ini membuat petani enggan menanam cendana. Selain itu, anggapan masyarakat yang berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi bahwa cendana tidak bisa dibudidayakan, melainkan tumbuh secara alami. Hal ini tentu tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang teknologi budidaya cendana itu sendiri