Menelusuri Jejak Manusia ‘Hobbit’ di Indonesia

ASTALOG.COM – Pernahkah kalian mendengar istilah manusia ‘Hobbit’? Atau mungkin selama ini kalian mengenal sosok manusia yang penampakannya kerdil ini lewat novel yang akhirnya difilmkan, ‘The Lord of The Rings’ karya J.R.R. Tolkin yang ditulisnya di tahun 1954. Sebenarnya karyanya itu merupakan pengembangan dari buku ‘The Hobbit‘ yang ditulisnya di tahun 1937 yang akhirnya dibuat pula menjadi sebuah film layar lebar.

Dalam cerita fiksi, manusia ‘Hobbit’ digambarkan sebagai makhluk yang berbudaya, sopan, dan terpelajar. Mereka tinggal di perbukitan dengan membuat rumah di dalam pohon dengan lorong-lorong yang indah dan tertata rapi dengan sejumlah perabotannya. 

 

Adapun kebiasaan yang sering dilakukan oleh mereka, antara lain :

  • makan 7 kali dalam sehari, belum termasuk ngemil.
  • makanan favoritnya adalah jamur, ayam, burung, dan buaya.
  • menyukai pakaian berwarna terang.
  • ahli dalam hal tanaman dan bunga.
  • memiliki kemampuan untuk menghilang dengan cepat tanpa suara.
  • tidak suka keributan dan tidak suka petualangan.

Tulisan yang dibuat J.R.R Tolkin sebenarnya bukan semata-mata hanya karena imajinasinya saja, tetapi fakta mengenai keberadaan manusia ‘Hobbit’ yang memang benar adanya. Manusia ‘Hobbit’ sendiri digambarkan dengan ciri-ciri fisik sebagai berikut :

  1. bertubuh pendek dengan tinggi badan sekitar 60cm – 120cm.
  2. cenderung memiliki telinga yang berujung runcing.
  3. berkaki besar dan kuat, serta berbulu tipis seperti kelinci.
  4. cenderung berperut buncit serta tidak berjanggut.
  5. memiliki harapan hidup hingga usia 100-130 tahun, dengan memasuki masa remaja di usia 33 tahun.
PELAJARI:  Contoh Sikap Positif Di Lingkungan Bangsa dan Negara
 

Di Indonesia sendiri tepatnya di tahun 2003 telah ditemukan manusia purba Homo Floresiensis yaitu sejenis manusia ‘Hobbit’ yang diperkirakan telah mendiami gua ‘Liang Bua’ di Flores, NTT sekitar 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu. Diperkirakan bahwa gua ‘Liang Bua’ merupakan sebuah situs dari zaman neolitik dan paleometalik.

Gua ini merupakan salah satu gua karst yang banyak terdapat di sana dan terbentuk dari batuan gamping . Gua ini sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, dan menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi manusia purba di masa pra aksara. Hal ini bisa  dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah yang berada di sekitar bukit.

Kronologis penemuan manusia ‘Hobbit’ di Liang Bua

PELAJARI:  Sebutkan dan Jelaskan Jenis-jenis Manusia Purba

Sebagai gua yang diperkirakan telah ada di zaman neolitik dan paleometalik, gua ‘Liang Bua’ telah menjadi salah satu tempat penelitian arkeologi sejak tahun 1930-an walaupun temuan-temuan di masa itu dibawa langsung ke Leiden, Belanda.

Di tahun 1950-an telah ditemukan manusia Liang Bua oleh Th. Verhoeven dimana ia menemukan beberapa fragmen tulang manusia, serta tulang iga beserta berbagai alat serpih dan gerabah. Di tahun 1965 ditemukan lagi 7 buah rangka beserta beliung dan barang-barang gerabah. Rangka ini diklaim sebagai homo sapiens.

Di tahun 1970, R.P. Soejono melanjutkan penelitian berdasarkan penemuan sebelumnya. Hasil temuannya menunjukkan bahwa manusia ‘Liang Bua’ secara kronologis menunjukkan hunian dari fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan Paleolitik.

Di tahun 2003, ditemukan lagi 9 fosil oleh tim peneliti gabungan dari Indonesia yang diketuai oleh R.P. Soejono dan Australia yang diketuai oleh Mike J. Moorwood. Penelitian yang telah dilakukan sejak 2001, akhirnya menemukan lagi jenis fosil baru, yaitu manusia ‘Liang Bua’ dengan postur tubuh paling tinggi hanya sekitar 100cm.

Penemuan ini pun menggemparkan dunia sebab ternyata gua ‘Liang Bua’ pernah dihuni sejenis manusia ‘Hobbit’ yang kerdil. Akhirnya manusia kerdil dari ‘Liang Bua’ itupun dinamakan Homo Floresiensis sesuai dengan lokasi penemuannya.

PELAJARI:  Cara Hutan Mempertahankan siklus oksigen, karbon dioksida, dan air

Kontroversi seputar penemua Homo Floresiensis

Penemuan yang menggemparkan di tahun 2003 membuat penelitian mengenai keberadaan manusia purba ini terus diteliti dan membuat sejumlah kontroversi pendapat. Di awal penelitian telah dihasilkan suatu kesimpulan bahwa manusia ini merupakan nenek moyang dari Homo Sapiens.

Namun pendapat ini dibantah berdasarkan penelitian di tahun 2007 yang dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dimana para tim peneliti menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan dimana tulang Homo Floresiensis berbeda dari tulang Homo Sapiens.

Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Homo Floresiensis merupakan spesies yang berbeda. Kemudian penelitian di tahun 2009 semakin memperkuat pendapat bahwa Homo Floresiensis lebih primitif daripada Homo Sapiens.

Meskipun begitu, pendapat ini juga belum sepenuhnya benar, sebab Homo Floresiensis yang ditemukan menderita mikrosefali atau kepala kecil yang sebenarnya hanya terjadi pada manusia modern meskipun struktur tulangnya menunjukkan bahwa ia adalah manusia primitif.