ASTALGO.COM – Dilansir dari wikipedia, Max Havelaar adalah sebuah novel karya Multatuli (nama pena yang digunakan penulis Belanda Eduard Douwes Dekker). Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1860, yang diakui sebagai karya sastra Belanda yang sangat penting karena memelopori gaya tulisan baru.
Novel ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul asli “Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij” (bahasa Indonesia: “Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda”)
Roman ini hanya ditulis oleh Multatuli dalam tempo sebulan pada tahun 1859 di sebuah losmen di Belgia. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1860 roman itu terbit untuk pertama kalinya.
Di dalam buku sejarah tersebut diceritakan bahwa Douwes Dekker ini merupakan salah satu bangsa Belanda yang prihatin dengan penjajahan di Indonesia.
Douwes Dekker mengabdi sebagai pegawai dari pemerintah Belanda di Indonesia selama 18 tahun. Beliau menjadi asisten residen di daerah Lebak, Banten. Buku Max Havelaar ini menceritakan pengalamannya melihat penindasan selama menjadi asisten residen Lebak. Buku Max Havelaar ini, menurut Pramoedya Ananta Toer (New York Times, 1999), merupakan buku yang “membunuh” kolonialisme.
Terbit pertama kali pada tahun 1860 di Belanda, buku Max Havelaar ini menggegerkan negeri itu. Kisah-kisah kejamnya kolonial seolah terbongkar dengan diterbitkannya buku ini. Kebenaran dari isi cerita di buku ini pun tak pernah diperdebatkan. Douwes Dekker sendiri menantang pemerintah Belanda untuk membuktikan kekeliruan kisah dalam bukunya.
Buku Max Havelaar ini berkisah tentang keseharian seorang Max Havelaar yang menjadi Asisten Residen di Lebak, Banten. Selama ia menjabat sebagai asisten residen, ia menjumpai banyak warganya yang menjadi korban tindakan sewenang-wenang dari Bupati Lebak (warga pribumi). Banyak warga yang sawah dan ternaknya dirampas atau dibeli dengan harga yang tidak sesuai oleh Bupati Lebak. Kejadian ini dibiarkan begitu saja oleh Residen Banten (warga Belanda). Ia memberikan laporan yang tidak sesuai dengan kodisi masyarakat sebenarnya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda (warga Belanda). Dalam laporan tersebut seolah tak ada penindasan yang terjadi di daerahnya.
Singkatnya, sebagai Asisten Residen Lebak, Max Havelaar banyak menerima aduan dari masyarakat mengenai ketidakadilan sang penguasa, yaitu Bupati Lebak. Max Havelaar pun melaporkan keluhan masyarakat ke Residen Banten, agar Residen memecat Bupati Lebak. Max Havelaar juga melaporkan keluhan tersebut ke Gubernur Jendral Hindia Belanda. Permintaan Max Havelaar ditolak, dan ia diberhentikan sebagai Asisten Residen Lebak. Setelah itu ia berhenti sebagai Asisten Residen.
Bentuk penulisan Douwes Dekker dalam buku ini terbilang cukup unik. Pada bab-bab awal buku ini, ia tidak langsung menceritakan mengenai kisah seorang Max Havelaar. Ia bercerita mengenai seorang makelar kopi bernama Droogstoppel. Mengambil sudut pandang orang pertama sebagai Droogstoppel, Douwes Dekker berkisah mengenai pertemuan Droogstoppel dengan Sjalmaan. Sjalmaan ini kemudian meminta agar Droogstoppel menerbitkan naskah tulisannya.
Setelah melalui beberapa proses, akhirnya naskah Sjalmaan ini setuju untuk diterbitkan oleh Droogstoppel. Naskah dari Sjalmaan tersebut kemudian ditulis oleh Kern, anak dari salah satu kolega Droogstoppel, untuk kemudian diterbitkan. Bagian pertengahan dari buku Max Havelaar ini menceritakan tentang naskah dari Sjaalman. Naskah tersebut berupa kisah hidup seorang Max Havelaar, seorang Asisten Residen di Lebak, Banten. Mulai dari naskah Sjalmaan ini, sudut pandang penulisan tak lagi sebagai orang pertama, tetapi menjadi sudut pandang orang ketiga.
Pada bab terakhir, Multatuli muncul. Ia menegaskan bahwa bukunya ini memang terlihat tak terkonsep dan berantakan, namun soal penindasan yang terjadi oleh kolonial Belanda dan pribumi yang korup ialah benar. Hal tersebutlah yang ingin ia tunjukkan dalam bukunya. Penindasan dan pemerasan terhadap masyarakat.
Begitulah kira-kira review dari buku Max Havelaar karangan Multatuli. Namun tetap harus diingat bahwa tetap sudut pandang dari buku ini adalah sudut pandang orang Belanda. Dalam buku tersebut dikisahkan bahwa yang melakukan penindasan adalah sang Bupati, yaitu bangsa pribumi. Sementara “dosa” dari bangsa Belanda, yaitu Residen dan Gubernur Jendral, adalah karena mereka membiarkan hal tersebut terjadi.
Meski kebenaran dari buku ini belum ada yang menyangkal, tetap saja masih belum bisa menggambarkan dengan utuh kondisi sebenarnya. Maka, kisah yang tertulis dalam Max Havelaar ini cukuplah menjadi sebuah rangkaian puzzle dalam sebuah bingkai besar sejarah Indonesia. Buku ini pula menjadi bukti bahwa sebuah karya tulis dapat menjadi salah satu cara untuk menyebarkan ide dan gagasan.