ASTALOG.COM – Dilansir dari wikipedia, Perang Cumbok (dikenal juga sebagai Peristiwa Cumbok atau Revolusi Sosial) adalah serangkaian pertempuran yang terjadi di Kabupaten Pidie, Aceh mulai 2 Desember 1945 hingga 16 Januari 1946.
Perang ini pecah antara kalangan ulama (teungku) para pendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh melwan kubu uleebalang (teuku) yang lebih memilih kekuasaan Belanda, sehingga menyebabkan revolusi di tatanan sosial masyarakat Aceh pada saat itu.
Perang Cumbok
Perang Cumbok adalah perang yang terjadi pada tahun 1946 hingga 1947 dan berpusat di Pidie, timbul karena adanya kesalahan peran dan tafsir dari kaum ulama dan Uleebalang (kaum bangsawan) terhadap proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1945.
Latar Belakang Perang Cumbok
Perang/Revolusi sosial Cumbok terjadi pada sekitar tahun 1946 (?) terutama di area Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara dsk.Perang terjadi antara Gol. Uleebalang (teuku) yang dikomandoi T. Cumbok dan Gol. Ulama (Teungku). Sampai sekarang ada dua hal sumber yg menyatakan sebab khusus Peperangan tersebut antara lain:
1. T Cumbok memprakarsai perang karena uleebalang saat itu menginginkan status quo sebagai landlord
dan elit politik ingin mempertahankan “kekuasaannya” terlebih banyak uleebalang (teuku) merupakan ‘gelar pemerintahan militer hindia belanda’ sebagai penguasa lokal / administratif (politik belanda utk memecah struktur masyarakat di Aceh atas anjuran snouck hargrunje) yag disuplai sebelumnya (persenjataan dan legitimasi) oleh Belanda sehingga khawatir apabila NKRI merdeka , peranan dan kepentingan sosial politik dan kekuasaannya menjadi terganggu; atau
2. T. Cumbok tidak setuju atas bergabungnya Aceh kepada NKRI, yg sewaktu itu didukung PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yg didukung penuh oleh Tgk Daud Beureueh, atau perang ini pecah pada tanggal 4 Desember 1945 di Sigli, ibukota Kabupaten Aceh Pidie antara kelompok ulama kontra kelompok uleebalang. Titik persoalan sekitar perebutan senjata milik bangsa Jepang yang berkedudukan di Sigli.
Akhir Perang Cumbok
Sikap damai yang diciptakan uleebalang dengan mengakui pertuanan Belanda di Aceh agar kedudukan mereka sebagai kepala-kepala pemerintahan di daerah tetap bertahan, yang disusul dengan penerimaan model pendidikan Barat, menyinggung golongan ulama, dan dianggap sebagai bentuk penghianatan. Keinginan dari golongan ulama agar para uleebalang mengikuti jejak mereka untuk tetap terus berjuang melawan Belanda yang kafir tidak tercapai seluruhnya. Situasi ini memisahkan mereka sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Kemudian golongan ulama dengan mendirikan PUSA (Persatuan Ulam Seluruh Aceh) pada tahun 1939 di Sigli mampu menyaingi golongan uleebalang, setidak tidaknya golongan ulama membahayakan kedudukan golongan uleebalang, terutama pada masa Jepang di Indonesia yang memberikan peluang besar pada golongan ulama dibanding pada masa Belanda yang membatasi mereka terutama dalam urusan politik. Jadi persiapan-persipan antara kedua golongan ini telah ada melalui gelombang-gelombang yang cukup panjang, hanya tinggal menanti saat yang tepat untu meletus.
Berakhirnya Perang Cumbok di Aceh memberi arti semakin lumpuhnya kekuatan dan kekuasaan golongan uleebalang sebagai kepala-kepala pemerintahan daerah Aceh yang telah berabad-abad lamanya mereka pegang, yang secara otomatis beralih kepada golongan ulama yang menang perang.