ASTALOG.COM – Aceh adalah salah satu kerajaan besar yang terpenting di Sumatera. Saat itu, Aceh mempunyai peranan penting karena terletak di ujung utara Sumatra yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan laut dan satu-satunya kerajaan yang berdaulat penuh atas wilayahnya.
Aceh terletak di jalur lalu lintas perdagangan laut yang sangat ramai. Hal tersebut memberi manfaat bagi kerajaan Aceh sendiri, antara lain bertambahnya pemasukan upeti dari para pedagang yang melintasi perairan yang dikuasai kerajaan Aceh. Letak strategis Aceh tersebut tidak hanya memberi dampak positif tetapi juga memberi dampak negatif bagi Aceh. Banyak kerajaan-kerajaan dan kekuasaan diluar Aceh yang berusaha merebut Aceh, diantaranya adalah Belanda.
Pada tahun 1930-an Belanda berhasil menguasai daerah Sibolga dan Tapanuli yang maíz menjadi daerah kekuasaan Aceh. Selain itu pada tanggal 1 februari 1858 sultan Siak diikat perjanjian oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan dikuasainya Siak oleh Belanda, menunjukkan bahwa Belanda sudah tidak konsisten dengan isi traktat London 1924. Hal tersebut benar-benar membuat Aceh marah dan tidak tinggal diam. Akhirnya pada tanggal 26 maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan melakukan serangan di daratan Aceh.
Perang Aceh
Terjadinya perang Aceh dilatar belakangi oleh 4 sebab, diantaranya yaitu :
1. Belanda meduduki daerah Siak
2. Dibukanya Terusa Suez oleh Ferdinand de Lesseps, menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
Dibukanya Terusan Suez pada awal abad 19 membuat Aceh mempunyai kedudukan strategis karena terletak dalam urat nadi perkapalan internasional. Belanda memandang situasi tersebut sangat gawat karena memasuki masa dimana imperialisme dan kapitalisme mulai memuncak dan negara-negara barat mulai berlomba mencari daerah jajahan baru (Kartodirjo,1987:386). Lalu lintas Selat Malaka juga semakin ramai sesudah dibukanya Terusan Suez dan Aceh merupakan pintu gerbang utama untuk menuju Selat Malaka (Poesponegoro dan Notosusanto,1993:242). Hal tersebut juga melatarbelakangi ekspansi Belanda terhadap Aceh.
3. Ditandatanganinya perjanjian Sumatera antara Inggris dan Belanda pada 1871 yang melanggar isi Traktat London 1824.
4. Akibat perjanjian Sumatera, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, kerajaan Italia, kesultanan Usmaniah Singapura dan Turki Ustmani.
Akhir Perang
Berdasarkan pengalaman Snouch Hurgronje, pada tahun 1899, Belanda mengirim Jenderal Van Heutsz untuk mengadakan serangan umum di Aceh Besar, Pidie dan Samalanga. Serangan umum di Aceh itu dikenal dengan Serangan Sapurata dari pasukan Marchausse (arsose) dengan anggota pasukannya erdiri dari orang-orang Indonesia yang sudah dilatih oleh Belanda. Pasukan inilah yang benar-benar telah mematahkan semangat juang para pejuang Aceh. Dalam serangan itu banyak putra-putra Aceh yang gugur. Sambil memberi perlawanan yang sengit, rakyat Aceh mundur ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman. Untuk menyerbu ke pedalaman, Belanda mengirim pasukannya di bawah pimpinan Jendral Van Daalen. Rakyat Aceh ternyata tidak siap dan kurang perlengkapan sehingga laskar menjadi kocar-kacir dan terpaksa lari mengundurkan diri dari Medan pertempuran Gerilya.
Dalam waktu singkat Belanda merasa berhasil menguasai Aceh. Kemudian Belanda membuat Perjanjian Pendek, dimana kerajaan-kerajaan kecil terikat oleh perjanjian ini. Kerajaan-kerajaan kecil itu tunduk pada Belanda dan seluruh kedudukan politik diatur oleh Belanda, sehingga masing-masing kerajan daharuskan untuk:
1. Mengakui daerahnya sebagai bagian dari kekuasaan Belanda
2. Berjanji tidak akan berhubungan dengan suatu pemerintahan asing
3. Berjanji akan menaati perintah-perintah yang diberikan oleh pemerintah Belanda
4. Perjanjian pendek juga bertujuan untuk mengikat raja-raja kecil atau mengikat kepala-kepala daerah. 5. Pemerintahan Belanda juga mengikat raja-raja yang besar kekuasaannya, diantaranya Deli Serdang, Asahan, langkat, Siak, dan sebagainya dengan suatu perjanjian.