Pertanian Pada Zaman Praaksara Diusahakan Dengan Cara?

ASTALOG.COM – Manusia awal Indonesia hidup secara bertahap. Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto menggambarkan kehidupan manusia awal Indonesia ke dalam empat tahapan, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat awal, masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjutan, masa bercocok tanam, dan masa perundagian.

Tahapan-tahapan ini merupakan suatu kesinambungan. Untuk melakukan perubahan dalam setiap tahapannya memerlukan waktu yang relative lama. Hal ini mampu memberikan warna yang berbeda untuk setiap tahapnya pada semua aspek kehidupan. Sebelum membahas lebih lanjut ada baiknya kita mengenal sedikit tentang zaman praaksara.

 

Pengertian Zaman Praaksara

 

Praaksara berasal dari dua kata, yakni pra yang berarti sebelum dan aksara yang berarti tulisan. Dengan demikian zaman praaksara adalah masa kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Ada istilah yang mirip dengan istilah praaksara, yakni istilah nirleka. Nir berarti tanpa dan leka berarti tulisan. Jadi zaman praaksara adalah zaman ketika suatu bangsa belum mengenal tulisan.

Kehidupan Sosial Manusia Indonesia Pada Zaman Praaksara

1. Pada Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat awal, manusia Indonesia saat itu hidup sangat sulit karena keadaan alam masih belum stabil. Letusan gunung berapi masih sering terjadi, aliran sungai kadang-kadang berpindah sejalan dengan perubahan bentuk bumi. Karena sulitnya untuk mencari makanan, pertumbuhan populasi Manusia Indonesia sangat sedikit dan banyak yang meninggal dan akhirnya punah.

PELAJARI:  Pencetus Teori Biogenesis

Manusia Indonesia pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup. Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai- sungai, danau atau sumber-sumber air yang lain, karena binatang buruan selalu berkumpul di dekat sumber air.

Di tempat-tempat yang demikian itu kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau juga merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buahnya atau umbinya dapat dimakan. Di danau mencari ikan dan kerang, ada pula yang memilih daerah pedalaman.

Tumpukan bekas makanan berupa kulit kerang banyak ditemukan di pantai atau di tepi sungai. Selain di sumber-sumber air, ada juga yang memilih gua-gua sebagai tempat sementara berdasarkan penemuan kerangka manusia yang dikuburkan, rupanya mereka sudah mengenal semacam sistem kepercayaan. Lama kelamaan kelompok manusia berburu dan mengumpulkan makanan menunjukkan tanda hidup menetap, suatu perkembangan ke arah masa bercocok tanam.

2. Pada Masa Bercocok Tanam

Kelompok-kelompok kecil pada masa bercocok tanam makin bertambah besar, karena masyarakat telah mulai menetap dan hidup lebih teratur. Kelompok-kelompok perkampungan tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar misalnya klan, marga dan sebagainya yang menjadi dasar masyarakat Indonesia sekarang. Kehidupan masyarakat menjadi semakin kompleks setelah mereka tidak saja tinggal di goa-goa, tetapi juga memanfaatkan lahan-lahan terbuka sebagai tempat tinggal.

PELAJARI:  Jalur Pegunungan Muda yang Melewati Indonesia

Dengan bertempat tinggal menetap mereka mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengembangkan teknologi pembuatan alat dari batu. Perubahan cara hidup dari mengembara ke menetap akhirnya berpengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya. Cara hidup berburu dan meramu secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan. Mereka memasuki tahapan baru yaitu bercocok tanam ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah perkembangan dan peradaban manusia.

Dengan penemuan-penemuan baru, mereka dapat menguasai alam, terutama yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup mereka. Beragam jenis tumbuhan mulai dibudidayakan dan bermacam- macam binatang mulai dijinakkan. Dengan perkembangannya cara bercocok tanam dan bertani, berarti banyak hal yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut yang tidak mungkin dapat dipenuhi sendiri. Kondisi inilah yang kemudian mendorong munculnya kelompok-kelompok spesialis atau undagi, misalnya kelompok ahli pembuatan rumah, pembuatan gerabah, dan pembuatan alat-alat logam.

Pada tahapan berikutnya, kegiatan pertanian membutuhkan satu organisasi yang lebih luas yang berfungsi untuk mengelola dan mengatur kegiatan pertanian tersebut. Dari organisasi itu kemudian menumbuhkan organisasi masyarakat yang bersifat chiefdoms atau masyarakat yang sudah berkepemimpinan. Dalam masyarakat yang demikian itu sudah dapat dibedakan antara pemimpin dan yang dipimpin. Pengakuan terhadap pemimpin tidak sekadar karena faktor keturunan, tetapi juga dianggap mempunyai kekuatan yang lebih dan berkedudukan tinggi. Para pemimpin tersebut sesudah meninggal arwahnya tetap dihormati karena kelebihan yang dimilikinya itu.

PELAJARI:  Pengertian Properti Dalam Teater

3. Pada Masa Perundagian

Pada masa perundagian, masyarakat telah hidup di desa-desa di daerah pegunungan, dataran rendah dan tepi pantai. Susunan masyarakatnya makin teratur dan terpimpin. Masyarakat dipimpin oleh ketua adat yang merangkap sebagai kapala daerah. Ketua adat dipilih oleh masyarakat, yaitu orang tua yang banyak pengetahuan dan pengalamannya mengenai adat dan berwibawa terhadap masyarakat. Kepala daerah yang besar wibawanya kemudian membawahi kepala-kepala daerah lainnya dan makin besar kekuasaannya. Ia bertindak seperti seorang raja dan itulah permulaan timbulnya raja-raja di Indonesia.

Untuk menaikkan derajat dalam masyarakat, orang berusaha membuat jasa sebanyak-banyaknya, biasanya dengan melakukan hal-hal atau perbuatan-perbuatan luar biasa dan memperlihatkan keberaniannya sehingga mendapatkan kepercayaan untuk memperoleh kedudukan sebagai pemimpin.

Misalkan dalam perburuan binatang buas sepert harimau. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kebiasaan masyarakat pada masa perundagian yang sering melakukan upacara khusus dalam acara penguburan mayat para pemimpin mereka, menunjukan bahwa masyarakat pada waktu itu telah memiliki norma-norma dalam kehidupan, terutama sikap menghargai kepemimpinan seseorang. Walau dapat kita dipastikan bahwa masyarakat pada masa itu didasarkan atas gotong royong, namun telah berkembang norma-norma yang mengatur hubungan antara lain yang dipimpin dan yang memimpin.