ASTALOG.COM – Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1997 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 29 Mei 1997 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1997-2002. Pemilihan Umum ini merupakan yang terakhir kali diselenggarakan pada masa Orde Baru.
Pemilu Indonesia tahun 1997 diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997, dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1997 sekitar 196.286.613 dengan pemilih terdaftar berjumlah 125.640.987. Seperti sudah diramalkan oleh banyak orang di dalamnegeri maupun di luarnegeri, GOLKAR telah, untuk kesekian kalinya, menang lagi dengan “gemilang” dalam PEMILU 1997 ini. Di seluruh propinsi, Golkar telah muncul sebagai pemenang unggul.
Menurut Suara Merdeka (30 Mei 97), Presiden Suharto merasa puas atas kegiatan pemungutan suara di seluruh Indonesia. “Presiden merasa gembira”, kata Mendagri Yogie SM setelah diterima oleh Kepala Negara di kediaman Jalan Cendana, untuk melaporkan pelaksanaan pemungutan suara di Tanah Air. Yogi SM, yang juga Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU), datang di Jalan Cendana bersama dengan Jaksa Agung/Ketua Panwaslakpus Singgih SH.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya. Pemilu ini diwarnai oleh aksi golput oleh Megawati Soekarnoputri, yang tersingkir sebagai Ketua Umum PDI yang tidak diakui rezim pemerintah waktu itu.
Pemilu 1997 akan melahirkan perlawanan dari berbagai golongan dalam masyarakat. Perlawanan itu tidak mesti berbentuk kekerasan atau kerusuhan. Sebab, perkembangan situasi sesudah Pemilu 1997 akan menunjukkan bahwa “bara api pembrontakan” terhadap sistem politik Orde Baru makin berkobar dalam dada banyak orang di Indonesia. Pembrontakan moral akan muncul dalam berbagai manifestasinya, menghadapi kekuasaan raksasa di bawah pimpinan Presiden Suharto, yang telah menyelenggarakan Pemilu ini dengan cara-cara curang dan manipulasi yang kotor. Pembrontakan semacam itu akan dibenarkan oleh sejarah, dan disahkan oleh hati-nurani banyak orang yang mendambakan perobahan demokratik yang berdasarkan kejujuran dan keadilan.
Kemenangan Golkar dalam Pemilu 1997 adalah penghinaan sistem politik Orde Baru terhadap rakyat Indonesia. Tidak patutlah kiranya bagi Presiden Suharto beserta pejabat-pejabat tinggi ABRI dan pembesar-pembesar sipil Golkar untuk bergembira-ria dan merasa bangga dengan hasil-hasil Pemilu 1997. Sebab, kemenangan ini akan membikin lebih buruknya citra Indonesia dalam pergaulan bangsa-bangsa yang beradab di dunia ini. (Dapatlah dibayangkan betapa sulitnya para diplomat Indonesia yang bertugas di luarnegeri untuk menyembunyikan wajah yang bonyok dan bopeng-bopeng pemerintahan Orde Baru). Sebab, selanjutnya, seperti halnya yang sudah-sudah, mass-media luarnegeri akan terus-menerus menyoroti “keanehan-keanehan” yang sudah dilakukan oleh pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Suharto ini. Dan karena perlawanan terhadap sistem politik Orde Baru ini akan makin meluas dan makin berani, maka penindasan terhadap mereka yang menginginkan perobahan juga akan lebih kejam, lebih brutal, lebih banyak. Seiring dengan berkembangnya situasi yang demikian, maka mass-media luarnegeri juga akan lebih getol menyajikan cerita-cerita yang menarik tentang kelakuan pembesar-pembesar Indonesia.