ASTALOG.COM – Artikel kali ini akan membahas mengenai partenogenesis. Partenogenesis tentunya masih sangat asing terdengar di telinga kita bukan? Apasih itu partenogenesis? Yuuk langsung saja kita simak artikel berikut ini.
Apa Itu Parthenogenesis?
Parthenogenesis adalah bentuk reproduksi aseksual di mana betina memproduksi sel telur yang berkembang tanpa melalui proses fertilisasi. Parthenogenesis dapat kita lihat pada kutu daun, lebah, kutu air, dan beberapa invertebrata lainnya, juga pada beberapa tumbuhan. Komodo dan hiu ternyata juga mampu bereproduksi secara parthenogenesis, bersama dengan beberapa genera ikan, amfibi, dan reptil – yang telah menunjukkan bentuk reproduksi aseksual yang berbeda.
Dalam sumber lain namun memiliki arti dan tujuan yang sama Parthenogenesis pada hewan adalah proses dimana hewan betina mampu bertelur & menghasilkan keturunan tanpa pembuahan dari hewan jantan. Parthenogenesis jarang terjadi pada hewan bertulang belakang atau vertebrata dan belum pernah terjadi pada spesies Rhacodactylus.
Mekanisme Perthenogenesis
Sebagaimana dijelaskan dalam pengertian di atas bahwa parthenogenesi merupakan suatu peroses perkembangbiakan Aseksual pada suatu mahluk hidup, yang mana individu betina tidak membutuhkan pembuahan dari pada hewan jantan, akan tetapi parthenogenesis hanya terjadi pada hewan-hewan tertentu yang biasanya berdasarkan faktor keturunan dan pola hidup. Sebagaimana terjadi pada seekor Komodo di suatu penakaran di London/Inggris.
Komodo tersebut mampu memproduksi 4 butir telur awal tahun kemarin sedangkan komodo betina tadi ngga pernah ‘berhubungan’ dengan komodo jantan selama kurang lebih 2 tahun. Tapi komodo betina juga bisa menghasilkan telurnya melalui proses perkawinannya dengan komodo jantan, dalam arti melalui perkawinan yang normal-normal saja. Sekedar info, masa mengerami komodo berjangka waktu sekitar 7 hingga 9 bulan.
Berdasarkan riset para ilmuwan, karena hewan-hewan ini di berada di penangkaran selama bertahun-tahun tanpa mendapat akses untuk berhubungan dengan pejantannya, mereka jadi bisa ber-reproduksi secara parthenogenetic. Tapi kemampuan untuk mereproduksi parthenogenetically ini jelas kemampuan turun temurun. Komodo betina mampu memanfaatkan kemampuannya untuk bereproduksi tanpa hubungan seksual ketika, misalnya aja, dia terdampar sendirian di sebuah pulau tanpa ada komodo jantan untuk membantunya berkembang biak.
Adapun Yang lebih menarik lagi, karena proses genetika ini, telur-telur komodo parthenogenetic bisa dipastikan akan selalu menetaskan bayi komodo yang berjenis kelamin jantan. Ini bisa dibuktikan dengan komodo betina yang memiliki satu kromosom W dan satu kromosom Z, sedangkan komodo jantan memiliki dua kromosom Z. Telur dari komodo betina membawa satu kromosom, baik kromosom Z atau W, dan ketika proses partenogenesis terjadi, baik kromosom Z atau W akan diduplikasi, hal ini menyebabkan telur jadi berkromosom WW atau ZZ. Telur berkromosom WW ngga bisa hidup, tetapi telur yang memiliki kromosom ZZ bisa berkembang dan ini berarti menghasilkan bayi komodo jantan.
Setelah melalui proses parthenogenesis, komodo betina yang diberi kesempatan kawin dengan komodo jantan juga akan bisa kembali menghasilkan telurnya melalui proses perkawinan yang normal dengan komodo jantan, dan bisa membangun sebuiah koloni baru. Para peneliti mengatakan untuk memastikan keragaman genetik Komodo yang dipelihara di penangkaran, kebun binatang mungkin harus menempatkan komodo jantan dan betina untuk menghindari reproduksi aseksual yang hanya menghasilkan bayi komodo jantan.
Contoh Parthenogenesis
1. Komodo
Berdasarkan riset para ilmuwan, karena hewan-hewan ini di berada di penangkaran selama bertahun-tahun tanpa mendapat akses untuk berhubungan dengan pejantannya, mereka jadi bisa ber-reproduksi secara parthenogenetic. Tapi kemampuan untuk mereproduksi parthenogenetically ini jelas kemampuan turun temurun. Komodo betina mampu memanfaatkan kemampuannya untuk bereproduksi tanpa hubungan seksual ketika, misalnya aja, dia terdampar sendirian di sebuah pulau tanpa ada komodo jantan untuk membantunya berkembang biak.
Adapun Yang lebih menarik lagi, karena proses genetika ini, telur-telur komodo parthenogenetic bisa dipastikan akan selalu menetaskan bayi komodo yang berjenis kelamin jantan. Ini bisa dibuktikan dengan komodo betina yang memiliki satu kromosom W dan satu kromosom Z, sedangkan komodo jantan memiliki dua kromosom Z. Telur dari komodo betina membawa satu kromosom, baik kromosom Z atau W, dan ketika proses partenogenesis terjadi, baik kromosom Z atau W akan diduplikasi, hal ini menyebabkan telur jadi berkromosom WW atau ZZ. Telur berkromosom WW ngga bisa hidup, tetapi telur yang memiliki kromosom ZZ bisa berkembang dan ini berarti menghasilkan bayi komodo jantan.
Setelah melalui proses parthenogenesis, komodo betina yang diberi kesempatan kawin dengan komodo jantan juga akan bisa kembali menghasilkan telurnya melalui proses perkawinan yang normal dengan komodo jantan, dan bisa membangun sebuiah koloni baru. Para peneliti mengatakan untuk memastikan keragaman genetik Komodo yang dipelihara di penangkaran, kebun binatang mungkin harus menempatkan komodo jantan dan betina untuk menghindari reproduksi aseksual yang hanya menghasilkan bayi komodo jantan.
2. Gecko
Beberapa waktu yang lalu seorang penghobi bernama Favazza mengatakan telah menyaksikan Caledonian Giant Geckos yang dipeliharanya melahirkan untuk yang ketiga kalinya tanpa adanya ‘campur tangan’ gecko jantan. Favazza membeli 2 ekor gecko R. l. henkeli betina itu dari ahli gecko yang bernama Philippe de Vosjoli pada tahun 2006. Favazza mengatakan setelah kedua gecko peliharaannya mulai menghasilkan telur dengan embrio yang tumbuh sebagian atau tumbuh sepenuhnya, dia mengirimkan foto geckonya ke de Vosjoli untuk memastikan keduanya betina. Favazza menyatakan kedua gecko miliknya tidak pernah memiliki ‘kontak’ dengan hewan lain.
Favazza mengatakan geckonya sudah memproduksi kira kira 15 embryo dari 18 kumpulan telur dan selain itu, kumpulan telur yang lain masih dalam inkubasi. Favazza percaya kalau kedua geckonya betina & mengalami proses parthenogenesis karena jumlah hari yang diperlukan untuk mengeluarkan kumpulan telur mereka terlalu kecil jika dihasilkan dari gecko yang sama. Periode normal antara tiap kumpulan biasanya antara 5 hingga 7 minggu. Sedangkan sebelumnya, telur telur yang dihasilkan hanya terpisah jarak 11 hari.
Favazza menyatakan bahwa tanggal 7 Juli 2009, bayi pertama yang menetas keluar dari kumpulan telur salah satu gecko Nuu Ana New Caledonian-nya. Dia percaya bayi gecko ini juga akan mengalami proses parthenongenesis seperti induknya jika sudah mencapai umur 2 tahun.
Keturunan yang dihasilkan dari parthenogenesis secara genetic sama dengan induknya. Favazza ingin lebih memperjelas penemuannya dengan melakukan test DNA. Tapi proses ini memerlukan waktu yang lama & biaya yang tidak sedikit. Dia cukup puas dengan bukti yang dipegangnya sekarang dan percaya suatu saat nanti akan muncul gecko lain yang bertelur secara parthenogenesis dan akan membuat parthenogenesis pada Nuu Anas bisa diterima oleh orang lain yang tidak percaya.
Favazza berharap di masa depan akan ada lebih banyak lagi keturunan gecko yang dihasilkan secara parthenogenetik. Favazza mengatakan banyak embrio yang tidak bisa bertahan karena sepertinya mereka berkembang melebihi ukuran cangkang telurnya. Untuk meningkatkan kesempatan hidup telur telur geckonya, Favazza bereksperimendengan suhu & media inkubasi yang berbeda beda. Suhu yang lebih tinggi menyebabkan embryo untuk tumbuh lebih cepat, dan karena itu lebih baik menetas dengan tubuh yang lebih kecil dariapada tumbuh besar saat masih dalam telur.