Mimpi dan Hukum Tafsir Mimpi Dalam Islam

ASTALOG.COM –  Mimpi adalah bunga tidur yang paling indah dialami seseorang saat beristirahat di malam hari. Meski tidak smeuanya indah, adapula mimpi sedih dan buruk yang pasti pernah dialami setiap orang.

Proses tidur 8 jam sering digunakan 100 menit sebagai waktu untuk bermimpi. Hanya saja, kebanyakan dari mimpi yang terjadi tidak bisa di ingat. 

 

Bagaimana Mimpi Bisa Terjadi ?

Mungkin pernah muncul pertanyaan, mengapa kita bisa bermimpi ? Mimpi adalah hasil dari rekayasa otak. Saat tertidur, panca indera dari tubuh tidak bekerja tetapi otak tetap bekerja bahkan otak akan lebih aktif saat bermimpi daripada saat terbangun dan beraktivitas. Oleh karena itu, otak dapat menciptakan gambaran-gambaran berupa imajinasi tanpa ada peranan panca indera dan inilah yang disebut dengan mimpi.

 

Bagaimana Asal Dari Gambaran Mimpi ?

Gambaran dari mimpi biasanya terbentuk dari diri sendiri yaitu kesehatan fisik dan mental, emosi, kesehatan jasmani dan keseimbangan elemen tubuh, dan ingatan-ingatan terakhir sebelum tidur.

Banyaknya gambaran mimpi yang terbentuk terkadang menimbulkan pertanyaan lain. Apakah arti dari mimpi semalam ? Yah, cukup banyak orang yang berusaha untuk mengingat mimpi mereka hanya untuk mengartikan apa maksud dari mimpi tersebut.

PELAJARI:  Isi Kandungan Surah An-Nasr Ayat 3

Tetapi bagaimana dengan hukum mengartikan atau menafsirkan mimpi tersebut ? Menafsirkan mimpi sepertinya tampak seperti menaruh kepercayaan lain dan menyakininya bahwa akan benar-benar terjadi. benarkah ? Mari bahas lebih lanjut mengenai hukum dari tafsir mimpi.

 Hukum Tafsir Mimpi

Hukum menafsirkan mimpi bisa di lihat dari 2 sudut pandang yaitu global dan agama.

Untuk global, umumnya menafsirkan mimpi sebenarnya sah-sah saja selama dianggap hanya sebagai bunga tidur indah dan tidak menaruh harapan lebih pada mimpi tersebut.

Menurut pandangan agama, hukum menafsirkan mimpi dibolehkan tetapi hanya sebatas digunakan sebagai peringatan ataupun kabar gembira dan tidak dijadikan dalil untuk menetapkan hukum akan suatu masalah ataupun dijadikan dalil untuk menetapkan suatu keyakinan/i’tiqod.

Asy-Syathiby rahimahullahu berkata:

((…لأنَّ الرؤيا مِن غيرِ الأنبياء لا يُحْكَمُ بها شرعًا على حالٍ؛ إلاَّ أنْ نَعْرِضَها على ما في أيدِيْنا من الأحكام الشرعِيَّة، فإنْ سَوَّغَتْها عُمِلَ بمقتضاها؛ وإلا وجب تركُها والإعراضُ عنها، وإنما فائدتها البشارةُ والنذارةُ خاصَّةً، وأما استفادةُ الأحكام فلا))

PELAJARI:  Surah Al Zalzalah Latin

“… Sesungguhnya mimpi dari selain para Nabi secara syara’i tidak boleh dijadikan landasan untuk menghukumi perkara apapun; kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat; apabila diperbolehkan maka bisa diamalkan; bila tidak diperbolehkan maka wajib ditinggalkan dan berpaling darinya. Faidah dari mimpi tersebut hanyalah memberi kabar gembira atau peringatan; adapun menentukan sebuah hukum dengannya maka tidak boleh sama sekali” (Al-I’tisham 2/78)

Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimy (wafat tahun 1386 H) rahimahullahu berkata :

((اتفق أهلُ العلم على أنَّ الرؤيا لا تصلح للحجة، وإنما تبشير وتنبيه، وتصلح للاستئناس بها إذا وافقت حجة شرعية صحيحة))

“Para ulama telah bersepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan, dan bisa juga kita ambil ibrah apabila sesuai dengan dalil syar’i yang shahih” (At-Tankiil 2/242)

Untuk penafsir mimpi itu sendiri sebaiknya adalah seorang ulama’ yg mempunyai firasat yang tajam. Dan salah satu ciri orang yg mempunyai firasat tajam adalah orang yang selalu jujur dalam perkataan dan perbuatannya dalam kehidupannya sehari-hari, mempunyai sikap muroqobatulloh (selalu merasa diawasi oleh Alloh), selalu melazimi mengikuti sunnah-sunnah rosululloh, menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, mengekang dirinya dari hawa-hawa nafsu dan terbiasa dengan makanan yang halal.

PELAJARI:  Arti dari Kata Kafir Adalah?

Dari hukum menurut pandangan islam, persoalan mimpi sebenarnya sama dengan pembahasan mengenai ilham. Seperti mimipi yang dialami oleh Nabi Ibrahim yang bermimpi diperintahkan untuk menyembelih putranya,Ismail.

Dalam hadits yang diberitakan At Hurairah dijelaskan,”Tidak tersisa dari kenabian kecuali kabar gembira.”Mereka bertanya,”Apakah yang dimaksud dengan kabar gembira?” Dia menjawab,”Mimpi yang baik.”.

Nah, dari penjelasan diatas sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa mimpi hanyalah pemanis tidur yang akan dialami setiap orang. Selain itu mimpi juga bukanlah hal yang harus dipercayai, meskipun mimpi yang dialami mungkin menjadi kenyataannya, tetapi pada hakikatnya mimpi adalah pikiran alam bawah sadar kita yang terbentuk dari otak.