ASTALOG.COM – Tissue mulai dibuat sekitar tahun 1880-an dari bahan baku kulit kayu yang dijadikan pulp (bubur kertas). Sampai sekarang pun bahan baku dalam pembuatan tissue masih menggunakan kayu. Kayu yang didapat pastinya dari hasil penebangan pohon- pohon di hutan. Biasanya tissue di Indonesia menggunakan bahan baku dari pohon.
Sejarah Tissue
Toilet paper, atau tissue WC, telah digunakan di China sejak abad keempat belas dan dibuat dalam ukuran 2×3 inci. Di tempat lain, dan di China sebelum masa itu, manusia menggunakan apapun yang disediakan oleh alam untuk membantu urusan buang air. Daun, kulit kerang, dan kulit jagung telah menjadi pilihan yang lazim. Orang Romawi menggunakan spons yang dipasang pada ujung sebuah tongkat dan direndam di air garam. Dan di beberapa kebudayaan tangan kiri memiliki tugas membersihkan daerah pembuangan, dan pada kebudayaan tersebut tangan kiri masih mendapatkan stigma sebagai sesuatu yang kurang baik hingga masa kini.
Hingga akhir abad ke-19, orang Amerika memilih menggunakan bahan bacaan yang sudah akan dibuang. Tidak jelas juga apakah ini menjadi alasan kenapa hingga kini orang Amerika sering membawa bahan bacaan ke toilet, atau mereka sekedar mengharapkan mendapat pencerahan saat membaca di toilet.
Kertas tissue toilet dengan bentuknya sekarang pertama kali muncul pada tahun 1857, dibuat oleh Joseph Gayetty. Pada tahun 1879, Scott Paper Company didirikan oleh kakak beradik Edward dan Clarence Scott. Mereka menjual tissue WC dalam gulungan tanpa perforasi. Pada tahun 1885, gulungan tisu WC dengan perforasi dijual oleh Albany Perforated Wrapping Paper Company. Virtual Toilet Paper Museum melaporkan bahwa kehabisan stok tissue WC pertama kali di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1973.
Penggunaan Tissue dan Masalah Lingkungan
Sadarkah kita bahwa penggunaan tissue yang berlebihan ikut mendukung kerusakan hutan? Misalnya, dalam 1 pack terdapat 20 lembar tissue. Dan, ternyata dari 1 pohon berumur 6 tahun hanya bisa menghasilkan 2 pack tissue saja, atau 40 lembar.
Sementara, satu pohon itu bisa menghasilkan oksigen untuk menghidupi 3 orang. Bayangkan berapa jumlah orang disekitar Anda yang menggunakan tissue setiap harinya. Pasti sangat banyak. Sampai saat ini pun Indonesia sudah kehilangan sekitar 72% hutan aslinya, dan semakin hari kerusakan hutan masih tetap berlanjut.
Penggunaan tissue dapat kita minimalisir dengan beralih menggunakan sapu tangan atau handuk. Memang penggunaannya tidak sepraktis memakai tissue yang sekali pakai bisa langsung di buang, sapu tangan harus dicuci agar dapat digunakan kembali. Tapi lihat saja manfaat penggunaan sapu tangan selain mengurangi kerusakan hutan, kita juga membantu mengurangi penumpukan sampah. Jika dilihat dari segi produksinya, menghemat penggunaan tissue dapat mengurangi pemborosan energi dan air saat proses produksi.
Belum lagi dampak negatif lainnya dari segi kesehatan. Contoh, kita kerap menggunakan tissue untuk mengambil atau membungkus makanan, misalnya gorengan, untuk menghindari tangan kotor atau menyerap minyak yang berlebihan pada makanan tersebut. Padahal, zat kimia yang terkandung dalam kertas tissue dapat bermigrasi ke makanan. Seperti pernah dikemukakan Sapto Nugroho Hadi, Departemen Biokimia IPB.
Zat yang disebut pemutih – klor – memang ditambahkan dalam pembuatan kertas tissue agar terlihat lebih putih dan bersih. Zat ini bersifat karsinogenetik (pemicu kanker).
Hal yang sama juga terjadi pada kertas yang lain, entah kertas koran atau majalah, yang sering dipakai untuk membungkus makanan. Kertas-kertas ini mengandung timbal (Pb) yang bisa berpindah kemakanan karena panas makanan. Timbal yang masuk ketubuh akan meracuni tubuh dan menyebabkan beragam gangguan, dari kondisi pucat sampai lumpuh.