ASTALOG.COM – Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada 11 januari 1631, beliau merupakan putera dari Sultan Malik Asy-Said, Raja Gowa ke- 15. Nama lengkap Hasanuddin adalah I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Gelarnya ialah Tumenanga Ri Balla Pangkana, namun lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja.
Sultan Hasanuddin, Masa Kecil Hingga Remaja
Sejak kecil Hasanuddin mendapatkan pendidikan agama yang baik. Sebab itu, ketika remaja dirinya melihat dan mendengar aneka kedzaliman yang dilakukan oleh penjajah terhadap saudara-saudara seiman, sehingga hal ini menumbuhkan kegeraman di dalam hatinya. Semangat jihad yang telah tertanam didalam jiwanya sejak masih kanak-kanak kelak membuatnya menjadi pemimpin yang sangat berani, tegas dan mencintai kesyahidan. Hal ini terbukti saat memimpin rakyatnya melawan penjajah VOC sehingga Belanda sendiri menyebut beliau sebagai De Haantjes van Het Oosten, yang memiliki arti “Ayam Jantan Dari Timur”.
Sepeninggal ayahnya, Hasanuddin menjadi raja Gowa ke-16. Saat itu VOC tengah giat berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Upaya ini mendapat tentangan dari kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara, tak terkecuali kerajaan Gowa yang juga menguasai jalur perdagangan di wilayah Timur Indonesia.
Perjuangan Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa
Dua tahun setelah menjadi raja Gowa, Sultan Hasanuddin memutuskan buat membina sebuah keluarga dengan I Bate Daeng Tommi atau I lo’mo Tombong Karaeng Pabineang. Perempuan tersebut ialah putri Mangngada’ Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang nan merupakan mangkubumi Kerajaan Gowa. Tak lama kemudian Karaeng Pattingaloang, nan dulu selalu mendampinginya, wafat.
Beliau memulai perjuangannya dengan berusaha menggabungkan beberapa kerajaan kecil di Indonesia bagian timur buat menyatukan kekuatan guna menghadapi Belanda. Pada saat itu Belanda telah memonopoli perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku. Pada tahun 1660 terjadi peperangan antara kerajaan Gowa dan Belanda. Tapi peperangan tak berlangsung lama setelah adanya kesepakatan perdamaian antara kedua pihak nan bertikai.
Peperangan melawan Belanda kembali terjadi pada tahun 1666. Perang terjadi setelah kesepakatan perdamaian dirasa terlalu banyak merugikan pihak Gowa. Dalam perang ini kekuatan Belanda lebih besar sebab dibantu oleh beberapa kerajaan nan telah mereka pengaruhi dengan politik memecah belah.
Angkatan perang besar di bawah pimpinan Cornelis Speelman dan Arung Palaka telah disiapkan. Kelicikan Belanda sukses memecah belah persaudaraan antara Arung Palaka dari kerajaan Bone dengan Kerajaan Gowa. Peperangan terus terjadi dan suasana di wilayah Maluku semakin mencekam.
Kedua pihak terus berperang. Banyak korban berjatuhan. Dampak peperangan ini kerajaan Gowa semakin terpuruk dampak jatuhnya beberapa benteng pertahanan krusial ke tangan kolonial Belanda.
Meskipun sempat mengalami kekalahan, pasukan Belanda tetap menyerang. Terlebih lagi Belanda mengirim donasi tambahan berupa 5 kapal perang besar nan dikomandoi Kapten P. Dopun. Pada tanggal 22 Oktober 1667, pasukan Belanda dengan armadanya nan besar mengepung wilayah Makassar dengan meriam-meriam besar.
Pertempuran nan sangat sengit antara Gowa dan pasukan Bone, Buton, Ternate, dan Maluku pun tidak dapat dihindarkan. Banyak korban berjatuhan dari bangsa sendiri. Semua itu dampak kelicikan Belanda memecah belah kerajaan-kerajaan tersebut.
Sultan Hasanuddin merasa perlu mengambil kebijakan agar peperangan dapat dihentikan dan mencegah lebih banyak korban berjatuhan. Dia merasa kelelahan dengan peperangan nan tiada henti. Pada tanggal 18 Nopember 1667 diadakan Perjanjian Bungaya nan mengakhiri perang tersebut. Namun, perjanjian ini tak berlangsung lama sebab hasil perjanjian dinilai merugikan kerajaan Gowa.
Salah satu keputsan nan merugikan ialah penyerahan benteng Ujung Pandang kepada Speelman dan namanya diganti menjadi “Fort Rotterdam”. Speelman rupanya telah mempersiapkan benteng ini sebagai pertahanan pasukan Belanda. Dia sudah memprediksi bahwa perjanjian Bungaya akan segera batal.
Akhirnya perang kembali terjadi pada tanggal 21 April 1668. Sultan Hasanuddin dan pasukannya kembali melancarkan agresi terhadap kedudukan-kedudukan Belanda di beberapa tempat. Kegigihan Pasukan kerajaan Gowa serta Sultan Hsanudin mampu mebuat pasukan Belanda kocar-kacir.
Banyak korban berjatuhan di pihak Belanda. Namun, Speelman kembali meminta donasi dari Batavia berupa peralatan perang. Mereka dengan persenjataan lengkap sukses menguasai benteng Somba Opu pada 15 juni 1669.
Kali ini, Sultan Hasanuddin benar-benar kalah setelah menjalani peperangan sengit. Menurut Belanda, perang ini ialah nan paling dahsyat serta memakan waktu paling lama diantara perang-perang lain di Nusantara. Karena kegigihan Hasanuddin dalam melakukan perlawanan, orang Belanda menjulukinya sebagai “Ayam Jantan Dari Timur”.
Bahkan kegigihan itu tidak hilang meskipun ia mengalami kekalahan dan benteng Somba Opu telah jatuh ke tangan Belanda. Hal itu terbukti ketika ia tak mau menyerah kepada penjajah meskipun mereka berjanji buat memberikan pengampunan. Dia telah bersumpah buat tak lagi bekerja sama dengan penjajah Belanda.
Pada tanggal 29 Juni 1669, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Raja Gowa ke-16 setelah selama 16 tahun menjalani peperangan. Beliau melawan Belanda demi persatuan Nusantara. Sepeninggalnya, I Mappasomba Daeng Nguraga nan merupakan putra Hasanuddin dinobatkan sebagai raja Gowa nan baru dengan gelar Sultan Amir Hamzah.
Pada tanggal 12 Juni 1670 atau bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah, mantan Raja Gowa ke-16 tersebut mati dalam usia 39 tahun. Jenazahnya dimakamkan di sebuah bukit buat pemakaman raja-raja Gowa nan berada di dalam benteng Kale Gowa, Kampung Tamalate. Karena jasa beliau melawan penjajahan Belanda, pada tanggal 6 November 1973 Sultan Hasanuddin ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.