ASTALOG.COM – Kerajaan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Awal berdirinya sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Penaklukan ini dilakukan oleh Maulana Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Jati. Kemudian di tahun 1570, Maulana Yusuf, putra dari Maulana Hasanuddin naik tahta dan melanjutkan ekspansi Banten dengan menaklukkan kerajaan Padjajaran di tahun 1579. Setelah itu ia digantikan lagi oleh putranya, yaitu Maulana Muhammad yang mencoba menaklukkan Palembang di tahun 1596 namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukan tersebut.
Kerajaan Banten bertahan selama hampir 3 abad lamanya bahkan hingga mencapai masa kejayaan yang luar biasa. Masa kejayaannya bersamaan dengan kedatangan penjajah dari Eropa dan menanamkan pengaruhnya di bumi nusantara termasuk di kerajaan Banten.
Masa kejayaan kerajaan Banten berlangsung di masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa yang bertahta sejak tahun 1651 hingga 1682. Pada masa itu Banten memiliki armada yang mengesankan, yang dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.
Dalam mengamankan jalur pelayarannya, Kerajaan Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat) dan menaklukkannya di tahun 1661. Pada masa itu Kerajaan Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Kejatuhan Kerajaan Banten ke tangan VOC
Pasukan Banten mulai menyerang Batavia pada tahun 1652 yang dimulai dari Tangerang dan Angke. Untuk meredakan perlawanan tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak 2 kali pada tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah-hadiah yang menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng. Bahkan Sultan Ageng menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Banten pada tahun 1656 untuk melakukan gerilya besar-besaran dengan mengadakan pengrusakan terhadap kebun-kebun tebu, pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas patroli, dan pembunuhan terhadap beberapa orang Belanda yang keseluruhan dilakukan pada malam hari. Selain itu, pasukan Banten juga merusak kapal-kapal milik Belanda yang berada di pelabuhan Banten, sehingga untuk memasuki Banten, diperlukan pasukan yang kuat untuk mengawal kapal-kapal tersebut.
Pada saat itu, Kerajaan Banten juga mendapat sejumlah dukungan dari beberapa kerajaan seperti Kesultanan Cirebon dan Mataram. Ditambah lagi sejumlah dukungan dari luar negeri seperti Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark yang memberikan bantuannya berupa senjata api. Hal ini semakin memperkuat kedudukan dan kekuatan kerajaan Banten dalam menghadapi VOC.
Kerajaan Banten mulai melemah ketika terjadinya perang saudara. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1680 dimana muncul perselisihan dalam Kerajaan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji (Sultan Abu Nashar Abdul Qahar). Perpecahan inipun dimanfaatkan oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan.
Sultan Haji pun berhasil mengambil alih kekuasaan sehingga kerajaan Banten pun tidak lagi mendapat sejumlah dukungan dari kerajaan lainnya terutama dari kaum muslim mengingat saat itu kekuasaan dipegang oleh Sultan Haji yang berpihak pada VOC. Oleh karena itu, untuk memperkuat posisinya, Sultan Haji sempat mengirimkan 2 orang utusannya untuk menemui Raja Inggris di London pada tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.
Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sementara itu, Sultan Ageng bersama putranya yang lain, yaitu Pangeran Purbaya serta Syekh Yusuf dari Makassar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683, Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Lalu mengapa Sultan Haji berpihak pada VOC dan tega merebut kekuasaan ayahnya? Hal ini dikarenakan adanya pendekatan dan penghasutan yang dilakukan oleh seorang wakil Belanda di Banten, yaitu W. Caeff. Karenanya, Sultan Haji mencurigai Sultan Ageng dan saudaranya, Pangeran Purbaya yang akan naik tahta. Karena takut bahwa dirinya tidak bisa naik tahta karena masih ada saudaranya yang lain, maka Sultan Haji pun akhirnya meminta bantuan VOC dan menerima semua persyaratan yang diajukan oleh VOC.
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Banten semakin porak-poranda dengan maraknya kerusuhan, pemberontakan, pembunuhan, perampokan, kekacauan di segala bidang yang kerap terjadi di mana-mana. Bahkan sempat terjadi di dalam kota pembakaran yang membumihanguskan 2/3 bangunan. Sepeninggal Sultan Haji maka terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Tentu saja campur tangan Kompeni tidak terelakkan yang akhirnya menjadikan putra pertama Sultan Haji, yaitu Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten yang bergelar Sultan Abdul Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Ternyata Sultan ini sangat membenci Belanda dan berniat mengembalikan kejayaan Banten. Akan tetapi selang tiga tahun kemudian ia sakit dan tak lama kemudian ia wafat.
Hingga pada akhirnya kerajaan ini benar-benar runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan yang merupakan simbol kekuasaan kota Intan di Banten dihancurkan. Ditambah lagi di masa-masa akhir pemerintahannya, para Sultan Banten tidak lebih dari sekedar Raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.