ASTALOG.COM – Kesultanan Aceh terletak di ujung utara Pulau Sumatra. Pintu masuk Selat Malaka dan di bibir pantai Lautan Hindia. Diawali oleh kerajaan kota Samudera dan Pasai, Aceh berkembang menjadi daerah kosmopolitan. Orang-orang dari berbagai bangsa menginjakkan kakinya di sudut pulau Sumatra itu, sebelum meneruskan perjalanannya ke pulau rempah-rempah atau ke negeri di atas angin. Mereka datang ke Aceh, bukan hanya untuk membongkar sauh atau sekedar mengisi perbekalan, namun juga mengembangkan peradaban. Para musafir Arab dan Gujarat, boleh jadi merupakan pihak terpenting dalam membangun dasar-dasar peradaban Aceh.
Islam, yang dibawa oleh pedagang Arab, Gujarat, dan Persia, menjadi perekat sekaligus sumber kejayaan orang-orang Aceh. Dari ajaran Islam, undang-undang disusun dan ditegakkan. Kuatnya Aceh dalam penerapan hukum Islam, seperti : ekonomi bagi hasil, hukuman rajam dan cambuk, menjadikan negeri ini aman sentosa. Situasi kerajaan yang kondusif, melahirkan pula para seniman, sastrawan, dan para pedagang yang kaya raya. Meskipun wirausahawan kebanyakan datang dari keluarga raja, namun diterapkannya sistem sosialis Islam dalam perekonomian Aceh, memunculkan masyarakat egaliter yang memiliki daya beli cukup kuat. Tak adanya ketimpangan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat, menjadi salah satu sebab bertahannya Aceh dalam kurun waktu yang cukup lama.
Penguasaan jalur perdagangan tersibuk pada masa itu : Selat Malaka, menjadi faktor berikutnya yang mengantarkan Aceh kepada zaman gilang-gemilang. Jatuhnya kota Malaka di tahun 1511 oleh serangan Portugis, menjadi titik balik bagi kebangkitan Aceh. Estafet peradaban Melayu yang sebelumnya dibina oleh Kerajaan Malaka, diambil alih Kesultanan Aceh. Para saudagar muslim yang biasanya berkumpul di Malaka, perlahan-lahan beringsut meninggalkan kota tersebut untuk menetap dan berdagang di Kutaraja. Selain perdagangan, ilmu pengetahuan dan sastra juga berkembang cukup pesat. Beberapa cendekiawan Aceh seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkel, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Nuruddin Al-Raniri, banyak melahirkan karya besar yang kemudian menjadi rujukan para sastrawan dan ilmuwan Melayu.
Pada abad ke-16, hanya Portugis-lah pesaing serius Kesultanan Aceh di Selat Malaka. Meski kekuatan Aceh telah bersatupadu dengan kerajaan-kerajaan kecil di pantai timur Sumatra, namun Portugis tetap tak terkalahkan. Sampai tahun 1641, Portugis terus menguasai Malaka hingga akhirnya takluk di bawah kekuatan VOC. 130 tahun persaingan Aceh versus Portugis di Selat Malaka, banyak memberikan keuntungan bagi perdagangan Aceh. Kutaraja, ibukota sekaligus pelabuhan terpenting kerajaan, segera menjelma menjadi kota paling sibuk di Kepulauan Nusantara. Pengusaha muslim dari berbagai negara yang menghindari kekuatan Portugis di Malaka, banyak bertransaksi disini dan kemudian membangun pemukiman mereka. Pada masa itu, daerah Aceh Besar memiliki penduduk hingga 300.000 jiwa, dan merupakan salah satu wilayah terpadat di Indonesia.
Kekayaan ibukota-pelabuhan itu, memungkinkan para penguasa selanjutnya untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang bergantung kepada ekonomi pertanian. Didukung oleh angkatan laut yang mumpuni, Aceh menyerang kerajaan-kerajaan pantai timur Sumatra. Daya, Aru, Asahan, Deli, dan Panai, dalam waktu relatif singkat berhasil ditaklukkan. Politik ekspansi Aceh di pantai timur, tertahan oleh pasukan Minangkabau yang menyokong Kesultanan Siak. Persaingan tajam antara Aceh dan Minangkabau, adalah rivalitas klasik sepanjang tiga abad (abad ke-16 hingga ke-18) sejarah dunia Melayu.
Mereka tak hanya bersaing dalam perebutan hegemoni Pulau Sumatra, namun juga hingga ke Semenanjung Malaysia. Di Semenanjung, Aceh berhasil menancapkan kekuasaannya di Kedah, Pahang, dan Johor. Sedangkan di pantai barat, pelabuhan-pelabuhan penting imperium Minangkabau : Barus, Natal, Tiku, Pariaman, dan Padang, juga berhasil dikuasainya. Penguasaan Aceh atas sebagian wilayah Sumatra dan Semenanjung, memungkinkan mereka untuk memonopoli perdagangan lada yang menjadi komoditi penting di Eropa dan Timur Tengah. Keuntungan besar memonopoli, membuat negeri serambi Mekkah itu semakin kaya raya.
Penyebab Runtuhnya Kerajaan Aceh
1. Tidak ada pemimpin pengganti yang kompeten setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda. Maka terjadi ketidakstabilan pada kerajaan Aceh yang menggiringnya pada kehancuran dan keruntuhan.
2. Masa-masa kemunduran yang telah terlihat setelah wafatnya Iskandar Muda dalam hal ekonomi, pekerjaan, dan juga pamornya sebagai kerajaan Islam besar.
3. Bahkan banyak bagian kerajaan yang memisahkan diri setelah kemunduran kejayaan tersebut. Bagian kerajaan tersebut antara lain Johor, Pajang, Minangkabau, Siak, dan Perak.
4. Pertikaian terus terjadi antara anggota kerajaan dan bawahannya, untuk memperebutkan kekuasaan yang berkonotasi negatif. Bukan untuk memimpin kerajaan menjadi lebih baik, melainkan untuk mendapatkan harta dan kekuasaan dari masyarakat.
5. Munculnya kerajaan baru yang lebih kompeten dalam ekonomi dan politiknya.