ASTALOG.COM – Bangsa Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah. Bukti kesadaran ini ditunjukkan oleh banyaknya karya naskah yang bersebaran di daerah-daerah Indonesia. Naskah-naskah tersebut merupakan bagian awal dari perkembangan penulisan sejarah di Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, historiografi Indonesia diawali dengan perkembangan historiografi tradisional. Bentuk historiografi tradisional tersebut adalah naskah kuno sebagaimana yang telah dibahas. Setelah historiografi yang tradisional, kemudian berkembang penulisan sejarah modern.
Pada abad 20 M, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia. Seperti dilansir dari laman Andrianekayulianto.blogspot.co.id, hal ini ditandai dengan:
· Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
· Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.
· Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial.
· Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Ciri-ciri penulisan sejarah nasional antara lain:
· Bersifat Indonesia sentries,
· Sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia,
· Mengandung character and nation-bulding (pembangunan karakter bangsa)
· Disusun oleh orang-orang atau penulis-penulis Indonesia sendiri.
Sejarah Seminar Nasional I
Banyak buku yang bertema sejarah pada masa revolusi menimbulkan dalam pembelajaran di sekolah maupun bagi kalangan umum. Kekacauan yang terjadi pada masa itu tidak memberikan dukungan yang berarti bagi pemicu semangat kebangsaan di bidang pendidikan. Oleh karena itu, Kementrian pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan yang memutuskan tentang penyelenggaraan seminar sejarah serta menyerahkan sepenuhnya penyelenggaraannya kepada Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia.
Beberapa masalah yang menjadi kendala bagi kementrian pendidikan dan kebudayaan diantaranya yaitu:
1. Demi kepentingan nasional, terdapat permasalahan politis untuk menentukan dan mengembangkan kepribadian bangsa.
2. Terdapat permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan studi sejarah, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan politis.
Untuk memecahkan persoalan penulisan sejarah yang indonesiasentris, maka diadakanlah Seminar Sejarah Nasional I pada tanggal 14 sampai dengan 18 Desember 1957 di Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tanggal 13 Maret 1957 No.28201/5.
Masalah tersebut nampak pada susunan topik yang menjadi pembicaraan dalam seminar sejarah, yaitu:
I. Konsep Filosofis Sejarah Nasional.
II. Periodisasi Sejarah Indonesia.
III. Syarat Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Nasional.
IV. Pengajaran Sejarah Indonesia di Sekolah-sekolah.
V. Pendidikan Sejarawan.
VI. Pemeliharaan dan Penggunaan bahan-bahan Sejarah.
Topik I-IV mencerminkan adanya keinginan untuk mencapai keseragaman mutlak dalam penyajian sejarah nasional. Dalam pandangan tersebut, keseragaman merupakan faktor yang penting dalam proses pembentukan kepribadian bangsa, sehingga sejarah nasional diharapkan mempunyai fungsi penting dalam sistem pendidikan nasional. Namun karena mengalami kegagalan, seminar tersebut hanya menghasilkan pendapat yang simpang siur dan membingungkan karena tidak berpedoman pada disiplin ilmu sejarah.
Pembicaraan yang berkembang pada seminar ini menurut Moh. Ali, forum Seminar Sejarah Nasional belum mengarah pada penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia sebagai Sejarah Nasional. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pada saat itu di Indonesia belum banyak ahli sejarah yang benar-benar berlatar belakang pendidikan sejarah atau sejarawan. Dalam forum tersebut, pembicaraan yang lebih menonjol yaitu pemikiran mengenai mungkin tidaknya penyusunan suatu filsafat Sejarah Nasional. Pembicaraan tentang filsafat sejarah nasional banyak dibicarakan oleh Moh. Yamin dan Sujatmoko.
Perkembangan historiografi Indonesia modern ditandai dengan diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan pada tahun 1957. Sejak adanya seminar sejarah, penulisan sejarah yang ada di Indonesia mulai dilakukan oleh orang Indonesia sendiri. Sistem yang digunakan sudah mulai beranjak menggunakan sistem Indonesia sentries. Dengan demikian unsure subyektifitas dapat dipertanggung jawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa terjadi atau setidaknya merupakan orang Indonesia asli.
Pada masa itu, khasanah historiografi Indonesia mulai bertambah luas. Peranan-peranan rakyat biasa mulai nampak terlihat sebagai pelaku sejarah. Pada awalnya penulisan sejarah hanya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan tinggi dalam pemerintahan, ataupun para tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam negara. Hal itu muncul karena, pada masa-masa kemerdekaan historiografi yang muncul bisa dibilang sebagai alat untuk menumbbuhkan rasa nasionalisme di tengah-tengah masyarakat. Adanya seminar sejrah nasional juga menandai perpindahan pandangan penulisan sejarah dari Eropa-sentris menuju Indonesia-sentris. Perpindahan pandangan ini tentu saja sangat berpengaruh bagi perkembangan historiografi selanjutnya. Adanya perubahan pandangan ini menjadikan bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai bangsa rendahan.
Tetapi pada perkembangan setelah Seminar Sejarah pada 1957, muncul beberapa permasalahan yang tampaknya cukup mengganggu, yaitu para sejarawan cenderung hanya mengekor pada tradisi historiografi kolonial. Pada permasalahan selanjutnya, para sejarawan seringkali hanya memfokuskan pada persoalan Indonesia saja. Perdebatan terus berlanjut sampai tahun 1970. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti konkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideology, dan substansi sejarah.
Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, yang memiliki tanggung jawab besar dalam perkembangan historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang apa yang ditulis. Sejarawan akademislah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut diri mereka sebagai seorang sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian. Mereka inilah yang diundang dalam seminar-seminar sejarah, dan kegiatan lain yang mengandung tujuan sejarah.