ASTALOG.COM – Salah satu persoalan penting setelah terjadinya beberapa kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.
Nah, penuntutan pertanggungjawaban dalam kasus seperti ini disebut dengan impeachment. Untuk lebih jelasnya, yuk simak terus pembahasan berikut.
Pengertian Impeachment
Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhani.
Lebih jelas, menurut Marsilam Simanjuntak impeachment adalah:
“Suatu proses tuntutan hukum (pidana) khusus terhadap seorang pejabat publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik, karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan Undang Undang Dasar. Hasil akhir dari mekanisme impeachment ini adalah pemberhentian dari jabatan, dengan tidak menutup kemungkinan melanjutkan proses tuntutan pidana biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari jabatannya”.
Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Contoh kasus adalah peristiwa yang dialami oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, yang di-impeach oleh House of Representatives, tetapi dalam persidangan Senat tidak dicapai jumlah suara yang diperlukan, sehingga kasus Bill Clinton tidak berakhir dengan pemberhentian.
Secara historis, impeachment berasal dari abad ke-14 di Inggris. Parlemen menggunakan lembaga impeachment untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang amat powerful, yang terkait dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan pengadilan biasa.
Landasan Konstitusional Impeachment di Indonesia
1. Undang-Undang Dasar 1945
Ketika Indonesia terbentuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat pada 17 Agustus 1945, konstitusi yang digunakan pada saat itu (Undang Undang Dasar 1945) tidak mengatur bagaimana mekanisme impeachment dapat dilakukan dan alasan apa yang dapat membenarkan impeachment boleh dilakukan. UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit dan detail mengenai hal tersebut.
UUD 1945 hanya mengatur mengenai penggantian kekuasaan dari presiden kepada wakil presiden jika presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya sebagaimana tertera dalam Pasal 8 UUD 1945.
Meskipun begitu, nyatanya MPR setiap waktu dapat memberhentikan presiden dari jabatannya (kan hem op elk gewenst moment onslaan) atau dapat menjatuhkan hukuman pemecatan (op straffe van ontslag). Adanya wewenang MPR untuk melakukan impeachment terhadap presiden ini menunjukkan MPR di Indonesia memiliki hak Supremacy of the People’s Consultative Assembly.
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
Dibandingkan dengan UUD 1945, Konstitusi RIS memuat prinsip-prinsip ketatanegaraan yang banyak berbeda dengan UUD 1945. Salah satu perbedaan itu yaitu mengenai bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dianut. Dalam UUD 1945, secara normatif yang dipilih sebagai bentuk negara adalah republik dan sistem pemerintahan yaitu presidensial. Sementara dalam Konstitusi RIS 1949, bentuk negara yang dicantumkan dalam konstitusi dan diterapkan yaitu federasi, sedangkan sistem pemerintahan adalah kombinasi sistem presidensial dan parlementer. Pasal 69 Konstitusi RIS 1949 menyebutkan bahwa Presiden dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh Pemerintah daerah-daerah bagian dalam negara RIS sebagaimana disebut dalam Pasal 2 Konstitusi RIS. Presiden adalah sebagai Kepala Negara. Dalam hal pembentukan kabinet, Pasal 74 Konstitusi RIS mengatur bahwa Presiden harus membuat kesepakatan dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian untuk menunjuk 3 pembentuk Kabinet. Kabinet terdiri dari Perdana Menteri dan menteri-menteri.
Sama dengan UUD 1945, dalam konstitusi RIS 1949 juga tidak ada ketentuan yang jelas dan detail mengenai bagaimana impeachment dapat dilakukan. Karena sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem parlementer, maka impeachment biasanya dilakukan terhadap perdana menteri dalam kerangka pertarungan politik di parlemen. Pasal 72 Konstitusi RIS 1949 hanya menyebutkan bahwa Undang-undang federal mengatur pemilihan Presiden baru untuk hal apabila Presiden tetap berhalangan, berpulang atau meletakkan jabatannya. Pasal ini berarti menyerahkan pengaturan lebih lanjut mengenai penggantian Presiden pada level undang-undang.
3. Undang Undang Dasar Sementara 1950
Posisi Presiden dalam UUDS 1950 sangat kuat. Pasal 83 UUDS 1950 menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian, Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, menurut ketentuan Pasal 84 UUDS 1950, Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru dalam waktu 30 hari.
UUDS 1950 tidak mengatur secara jelas dan detail mengenai alasan dan mekanisme impeachment. Pasal 48 UUDS 1950 hanya mengatur penggantian presiden manakala presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
Meskipun penggunaan UUDS 1950 berlangsung cukup lama jika dibandingkan dengan Konstitusi RIS 1949, selama penggunaannya belum pernah terjadi impeachment terhadap presiden. Dinamika politik yang terjadi selama penggunaan UUDS 1950 hanya ditandai oleh seringnya terjadi jatuh-bangun kabinet akibat mosi tidak percaya yang dilakukan oleh parlemen.