ASTALOG.COM – Dilansir dari wikipedia, Fatahillah adalah tokoh yang dikenal mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa dan memberi nama “Jayakarta” yang berarti Kota Kemenangan, yang kini menjadi kota Jakarta. Ia dikenal juga dengan nama Falatehan. Ada pun nama Sunan Gunung Jati dan Syarif Hidayatullah, yang sering dianggap orang sama dengan Fatahillah, kemungkinan besar adalah mertua dari Fatahillah.
Menurut sumber “Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari” dan “Negarakertabhumi”, ayah Fatahillah dari Pasei merupakan seorang keturunan Arab dari Gujarat (India), Pada tahun 1521 Pasei berhasil direbut Portugis, kemudian ia berlayar ke Mekah. Sekitar tahun 1525 ia ke Jepara dan menikah dengan Nyai Ratu Pembayun (adik Sultan Trenggana dari Demak).
Kemudian berturutturut menaklukkan daerah Banten dan Sunda Kalapa. Setelah kemenangan itu, kemudian Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu (puteri Sunan Gunung Jati). Tidak diketahui secara pasti ia menguasai Jayakarta, namun saat akhir hidupnya berada di Cirebon dan dimakamkan di sana.
Fatahillah merupakan seorang tokoh penyebar agama Islam di Jawa Barat yang berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis pada tanggal 22 Juni 1527. Kemudian ia menggantinya menjadi Jayakarta, yang berarti “kemenangan yang sempurna”. Kota ini dalam perkembangannya berubah nama menjadi Jakarta dan tanggal 22 Juni menjadi hari jadi kota tersebut. Sifat perekonomian serta perdagangannya mengandung unsur-unsur Islam atau syariah Islamiah.
Usahanya untuk mensiarkan Islam, baik dalam usaha pemerintahan maupun diplomasinya dengan raja-raja Islam menunjukkan sebagai seorang ulama dan negarawan mahir. Ketekunannya dalam memperjuangkan Islam serta kesungguhannya mengamalkan agama Islam, menjadikannya tergolong deretan Wali Sanga (Wali Sembilan).
Ia dipandang sebagai Panglima Perang yang cakap dan gagah perkasa. Jasanya sangat besar dan pengaruhnya dalam memperluas wilayah dan penyebaran Islam terutama di pesisir air pantai utara Jawa. Selain Jakarta sebagai daerah dakwahnya adalah Kerajaan Demak, Banten, dan Cirebon. Itulah sebabnya sejarah Fatahillah yang telah mendirikan Kota Jakarta tak dapat dipisahkan dengan Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten.
Sebagai penghargaan dan peringatan akan jasa-jasanya, maka di Jakarta terdapat taman Fatahillah, dan sebagai lambang untuk melanjutkan cita-cita dakwah Islamnya serta perjuangannya menegakkan kebenaran serta mengusir penjajah, maka namanya dipergunakan sebagai nama salah satu Perguruan Tinggi Islam di bawah Departemen Agama, yaitu lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berlokasi di Ciputat.
Strategi Maritim Fatahillah
Strategi ini merupakan perpaduan dari pasukan gabungan Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, dan dengan perkuatan pemberontak Banten yang dipimpin Fatahillah. Mereka menerapkan grand strategi untuk mencegah masuknya Portugis yang berupaya menguasai Pulau Jawa dan menerapkan sistem monopoli perdagangan seperti yang telah dilakukannya di Malaka.
Fatahillah sebagai Sang Panglima perang yang telah berpengalaman dan melanglang buana sampai ke Timur Tengah tentunya mengerti apa yang terjadi di Goa (India) dan Malaka (Nusantara). Saat tiba di Pulau Jawa tahun 1525, Fatahillah menyadari adanya ancaman kehadiran Portugis yang telah difasilitasi oleh Kerajaan Pajajaran melalui perjanjian Padrao (1522). Hal inilah yang berusaha dicegah oleh Fatahillah untuk menghindari kekuasaan monopoli dan penjajahan yang berpotensi terjadi di Pulau Jawa karena keberadaan Portugis tersebut. Dalam rangka mencapai tujuan besar itu, maka Kesultanan Demak dalam hal ini terwakili oleh sosok Fatahillah yang menerapkan strategi yang dapat dikaji dalam lingkup strategi kontinental dan strategi maritim sesuai elemen-elemen strategi sebagai berikut:
Sunda Kelapa berada di wilayah Kerajaan Pajajaran dan kerajaan ini bermaksud mengundang kehadiran Portugis demi mengamankan eksistensinya atas apriori terhadap perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sedangkan dalam sudut pandang Fatahillah, kehadiran Portugis di Sunda Kelapa adalah ancaman regional terhadap seluruh kerajaan di Nusantara khususnya Pulau Jawa.
Cara pandang terhadap kehadiran Portugis yang berbeda antara pihak Pajajaran dan Fatahillah inilah yang menyebabkan Fatahillah harus menggunakan kekuatan armada perangnya untuk merebut Sunda Kelapa. Liddell Hart dalam bukunya Strategy: the Indirect Approach (1954) menyatakan bahwa, ‘Politik mengendalikan strategi dan strategi merupakan suatu seni untuk mendistribusikan dan menggerakkan sarana-sarana militer guna mencapai tujuan yang ditetapkan oleh kebijaksanaan politik’. Sehingga keputusan politik Fatahillah yang hanya bertujuan untuk menggagalkan kehadiran Portugis di Sunda Kelapa menjadikan strateginya tidak bermaksud untuk berperang total dengan pihak Pajajaran.
Maka dapat dikatakan bahwa secara aspek strategi kontinental, Fatahillah bertujuan menutup semua pintu masuk Portugis ke Pulau Jawa, dan dalam aspek strategi maritimnya dengan menguasai dan mengendalikan semua pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Pulau Jawa bagian Barat dalam hal ini wilayah Sunda Kelapa.
Fatahillah dalam upayanya menggagalkan rencana Pajajaran-Portugis bersekutu membangun benteng di Sunda Kelapa yang pada akhirnya memberi peluang Portugis untuk menerapkan sistem monopoli dagang. Fatahillah tidak pernah mencoba membuka front peperangan dengan pihak Pajajaran dari darat. Karena adanya pertimbangan bahwa kekuatan matra darat Pajajaran sangat tangguh, waktu yang digunakan terlampau lama, dan kemungkinan jatuhnya korban baik militer maupun rakyat sipil jauh lebih besar, serta pihak yang diserang (Pajajaran) akan lebih memiliki keuntungan karena mengenal medan, posisi, dan manuver penggunaan lapangan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Jomini tentang ruang dan waktu. Oleh sebab itu Fatahillah memutuskan menggelar operasi dalam mengejawantahkan strateginya melalui jalur laut.