ASTALOG.COM – Dilansir dari wikipedia, Jan Pieterszoon Coen (lahir di Hoorn, 8 Januari 1587 – meninggal di Batavia, 21 September 1629 pada umur 42 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertama ia memerintah pada tahun 1619 – 1623 dan untuk masa jabatan yang kedua berlangsung pada tahun 1627 – 1629.
Jan Pieterszoon Coen merupakan Gubernur Jenderal VOC yang memiliki banyak keunikan dibandingkan gubernur jenderal lainnya. Beberapa diantaranya adalah Coen merupakan salah satu dari sedikit gubernur jenderal VOC – Hindia Belanda yang biografinya tercantum dalam Ensiklopedia Britannica, Coen juga merupakan satu-satunya pejabat Belanda yang menduduki jabatan gubernur jenderal hingga dua kali. Coen juga dianggap oleh para sejarawan barat sebagai salah satu tokoh kontroversial di Hindia Belanda. Tindakan-tindakan yang dianggap kontroversi adalah peristiwa pembantaian rakyat Banda tahun 1621 dan skandal Sarah Specx – Pieter Coertenhoff di Batavia. Sebagai catatan, peristiwa Banda tahun 1621 adalah tindakan ‘genocide’ pertama yang dilakukan bangsa Belanda kepada rakyat Indonesia.
Begitu menjabat sebagai Gubernur Jenderal, langkah pertama Coen adalah membangun sebuah markas besar (headquarter) VOC yang dapat memenuhi segala kebutuhan dan kepentingan VOC di Hindia. Banten tidak menarik bagi Coen karena pertentangannya dengan bangsa Cina, Banten dan juga Inggris. Sedangkan Maluku terlalu kecil untuk dijadikan kantor pusat, selain itu Coen tetap menginginkan Jawa sebagai kedudukan kantor pusatnya karena sangat mudah untuk logistik pangan. Akhirnya Coen memilih Jayakarta sebagai pusat pemerintahannya karena di Jayakarta pula terdapat gudang dan loji VOC yang berdiri sejak tahun 1610. Karena Pangeran Jayakarta tidak menghendaki kehadiran Coen di Jayakarta, Coen memperkuat diri dengan membangun benteng di sekitar Istana Jayakarta. Tanggal 18 Januari 1621 Coen dan tentaranya berhasil mengusir Pangeran Jayakarta dan pengikutnya, kemudian dia merubah nama Jayakarta menjadi Batavia.
Langkah kedua JP Coen adalah merealisasikan monopoli pembelian pala di Hindia. Pala merupakan komoditas rempah-rempah yang hanya ada di Kepulauan Banda. Saat itu penduduk Banda menandatangani persetujuan penjualan pala kepada VOC dan juga Inggris. Untuk menguasai pala di pulau itu Coen menggunakan cara keras dan brutal.
Pembantaian Banda 1621
Latar belakang pemusnahan etnis ini disebabkan karena ketidakmampuan bangsa Belanda menjual pala lebih murah dibandingkan dengan Inggris bahkan dengan penduduk lokal pun masih lebih mahal, padahal Belanda sudah mengontrol Maluku selama 20 tahun. Akhirnya para petinggi VOC mencoba membuat program untuk bisa memonopoli perdagangan pala di Pulau Banda. JP Coen kemudian mengambil tugas ini dan beranggapan bahwa hanya dengan mengusir dan melenyapkan penduduk asli pulau Banda, monopoli pala baru bisa dilakukan.
Pertama –tama Coen dan serdadunya memaksa penduduk Banda (dibawah todongan senjata) untuk mau menandatangani kontrak perdagangan pala hanya dengan VOC tidak dengan Inggris. Tidak semua penduduk Banda mau mematuhi perjanjian tersebut, diam-diam mereka juga menjual Pala kepada Inggris dan ditukar dengan senjata, untuk memerangi kesewenang-wenangan VOC. Mereka membuat markas di pegunungan supaya tidak diketahui oleh Coen, saat dia datang ke Banda. Pemboikotan yang dilakukan oleh bangsa Banda ini akhirnya ketahuan juga, dan menyebabkan Coen naik pitam.
Pada tanggal 10 Maret 1621 dengan berkekuatan sebanyak 2000 tentara (sebagian tentara bayaran dari Jepang), Coen memimpin sendiri penyerangan tersebut ke P. Lontor, dari hasil penyerbuan tersebut Coen menangkap sebanyak 800 orang dan dikirim ke Batavia sebagai budak. Sebuah laporan yang diterbitkan setahun kemudian Verhael van eenighe oorlogen in Indië (1622) (Critici van Jan Pieterszoon Coen; Ewald Vanvugt; 1996) seorang saksi mata menjelaskan pada tanggal 8 Mei 1621 di depan Benteng Nassau, sebanyak 44 dakwaan dituduhkan kepada para pemimpin suku Banda, kemudian setelah dakwaan dibacakan delapan pemimpin suku Banda ini kemudian dipancung oleh enam orang tentara bayaran dari Jepang. Kemudian mayatnya dipotong menjadi empat bagian dan dibuang ke empat penjuru.
Menurut salah seorang serdadu VOC yang ikut, Vertoogh. Sekitar 2500 penduduk Banda dibiarkan tewas kelaparan, dan banyak yang tewas terpancung sehingga seandainya kita bisa terbang pasti dapat melihat seluruh pulau penuh dengan mayat. Pembantaian lebih kejam terjadi pada minggu kedua April 1621, hanya dalam waktu satu minggu 1200 – 1300 penduduk Banda tewas dibantai, dan dengan bangga Coen melaporkan kepada Heren XVII “Seluruh orang aborigin dari Banda sudah mati karena perang, kelaparan dan kekurangan. Hanya sedikit yang bisa lolos dan mengungsi ke tempat lain” (Ewald Vanvugt; 1996).