ASTALOG.COM – Setiap negara pastilah memiliki batas-batas wilayah yang meliputi udara, laut, dan daratan. Penentuan batas-batas wilayah ini penting dilakukan untuk menunjukkan kedaulatan suatu negara. Secara yuridis, selain batas wilayah udara, laut, dan daratan, batas ekstrateritorial dan batas wilayah negara menjadi bagian dalam batas wilayah yuridis suatu negara.
CARA MENENTUKAN BATAS WILAYAH UDARA
Wilayah udara meliputi daerah yang berada di atas wilayah negara atau di atas wilayah darat dan wilayah laut teritorial suatu negara.
Meskipun begitu, ketika belum ditemukan kesepakatan mengenai penentuan batas wilayah udara, beberapa ahli mencoba untuk menggali hukum-hukum lama yang berkaitan dengan ruang udara dan akhirnya ditemukanlah suatu ketentuan lama yang berlaku di masa Romawi. Dalam ketentuan itu disebutkan tentang “Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum Et Ad Infinitum” yang artinya:
barang siapa memiliki sebidang tanah, maka juga memiliki pula apa yang ada diatasnya dan juga yang ada di bawahnya serta tidak terbatas.
Tentu saja ketentuan itu menimbulkan suatu perbedaan pendapat yang hangat di antara para ahli hukum seperti:
- Paul Fauchille dengan teorinya ‘Air Freedom Theory‘ yang menyebutkan bahwa ruang udara itu bebas dan oleh karena itu tidak dapat dimiliki oleh negara bawah. Teori Paul Fauchille tersebut didasari oleh: sifat udara adalah bebas; dan karena udara adalah warisan seluruh umat manusia.
- West Lake dengan teorinya ‘Air Sovereignty Theory‘ yang menyebutkan bahwa ruang udara itu tertutup yang berarti dapat dimiliki oleh setiap negara bawah.
Untuk menyelesaikan masalah kedaulatan wilayah udara tersebut, maka pada tahun 1910 diadakan konferensi internasional, yaitu The International Conference on Air Navigation di Paris, Perancis yang hanya dihadiri oleh 3 negara, yaitu Perancis, Jerman, dan Inggris.
Pada tahun 1919, kembali diadakan konferensi internasional di Paris,Perancis yang dihadiri oleh 31 negara dan menghasilkan suatu konvensi, yaitu Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation 1919 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Paris 1919. Dalam isi pasal 1 Konvensi Paris 1919, dinyatakan bahwa:
setiap negara mempunyai kedaulatan utuh dan eksklusif di wilayah udaranya.
Sayangnya, konvensi ini mengalami kegagalan juga, karena belum mencapai jumlah ratifikasi seperti yang ditentukan, dan ini juga karena hanya negara-negara anggota Konvensi Paris 1919 saja yang diakui wilayahnya di ruang udara, sedangkan bagi negara-negara yang bukan anggota konvensi ini tidak diakui wilayahnya di ruang udara.
Untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur mengenai kedaulatan negara di ruang udara, maka pada tahun 1929, American Communication Beaureau mengadakan pertemuan dan menghasilkan suatu kesepakatan bahwa mengakui bahwa setiap negara memiliki wilayah di ruang udara yang ada di atasnya. Dengan adanya kesepakatan ini maka semua negara di dunia merasa memiliki kedaulatan di ruang udara, dan menjadikan teori dari Paul Fauchille dan West Lake sepenuhnya tidak dapat dipertahankan, karena setiap negara memiliki kedaulatan mutlak di ruang udara dengan memberikan kebebasan penerbangan.
Kemudian pada tahun 1944 diadakan lagi sebuah konferensi internasional di Chicago, Amerika Serikat dan menghasilkan sebuah pasal, yaitu pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan bahwa:
Setiap negara memiliki kedaulatan lengkap dan eksklusif di ruang udara yang ada di atas wilayahnya.
Dengan demikian, Konvensi Chicago 1944 telah mengakui setiap negara di dunia, baik negara anggota maupun tidak, untuk tetap memiliki kedaulatan di ruang udara yang ada di atas wilayahnya.
Berdasarkan Konvensi Chicago 1944, maka dihasilkan cara penentuan batas wilayah udara yang terbagi dalam 2 cara penentuan, yaitu:
1) Secara Horizontal
Setiap negara yang memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horizontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah, yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam artikel 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan bahwa:
Setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line).
2) Secara Vertikal
Penentuan batas wilayah udara secara vertikal masih tetap menjadi permasalahan hingga sekarang, karena beberapa hal seperti: perjanjian internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, dan yurisprudensi internasional yang mengatur tentang batas kedaulatan wilayah udara secara vertikal belum ada.